Saturday, October 03, 2009

Ketika Anakku Bertanya Tentang Musibah


Oleh: Hedi Rachdiana

“Kenapa terjadi gempa lagi?”. Kenapa koq sering terjadi musibah?, anakku dengan polos bertanya kemarin sewaktu melihat berita di TV mengenai gempa di Padang yang terjadi kemarin.

“Ada banyak makna dibalik musibah”, itulah kalimat awal yang aku coba jawab dari pertanyaan anakku yang masih duduk di SMA itu.

Emangnya bermakna apa Pa?, kaya ustadz aja…! Anakku menimpali.

“Bapak memang bukan ustadz nak, tapi Bapak juga kan sering denger di pengajian-pengajian, emang katanya musibah itu harus jadi bahan renungan, bukan justru jadi ajang kesempatan nyari keuntungan dengan kumpul-kumpul dana atas nama musibah. Ada lho atas nama yayasan itulah, inilah yang nyampe berapa, yang masuk uang yayasannya berapa… ?! dan juga engga sedikit yang dijadikan ajang promosi, sebagaimana dilakukan mass media tayangan, ujung-ujungnya kan rating tontonan”. Aku mencoba mempengaruhi alam pikiran anakku, agar lebih mudah bagaimana selanjutnya aku bisa memberi pencerahan musibah itu sebenarnya apa!.

“Jadi maknanya gimana donk Pak, emang manusia kan bisanya cuma seperti itu?”, anakku semakin lebih bingung, namun tampak dari nada tanyanya ada rasa penasaran.

“Begini… kumpul-kumpul dana itu benar sebagai bentuk hablumminanas, itu memang perintah agamanya juga demikian, namun juga harus disertai ketulusan dan keihlasan”. Aku tambah bersemangat untuk memberi pencerahan kepadanya.

“Ah.. itu sih tahu, dan semua orang juga tahu berbuat amal itu harus ihlas”, anakku menimpali”.

“Bagus.., kalau kamu tahu tulus dan ihlas itu gimana!, tapi coba kamu pikirkan, atau tanyakan kepada orang-orang. Arti tulus dan ihlas yang sebenarnya itu gimana? Apa cuma sekedar diucapkan dengan lisan dan merogoh dompet menyodorkan uang 10ribu, padahal yang ada di dompet kamu itu 1juta? Nanti dulu…!, itu baru pertanyaan Bapak jika nilai ketulusan diukur dari sisi dompet kamu!”.

“Begini nak!, kalau boleh Bapak bertanya. Pernahkah kamu merasa ingin menangis, atau mungkin kamu memang menangis melihat kejadian sebuah musibah yang dialami orang lain!?. Jika pernah itu bibit-bibit kamu bisa merasakan ketulusan, berikan yang kamu bisa dan itu kamu akan merasakan bibit-bibit suatu keihlasan!. Bisakah..? aku sok berfilsafat dengan nada bertanya dan sedikit memohon”.

“Itu baru bibit, Bapak belum bicara buah.. eh maksud Bapak esensi dari suatu ketulusan dan keihlasan”. Anakku kelihatan semakin bingung, tapi aku perhatikan dia semakin antusias untuk mendengarkan penjelasanku lebih lanjut.

“Baiklah anakku.. “ aku coba alihkan perhatian dengan mengembalikan ke pokok pertanyaannya yang awal. Karena bicara panjang lebar tentang tulus dan ihlas ini tampaknya sulit untuk disampaikan secara rinci dengan lisan, karena yang mungkin adalah urusan hati yang tidak bisa dibaca oleh pikiran orang lain.

“Jadi benar nih kamu ingin tahu; kenapa seringkali terjadi gempa atau musibah, di negeri ini”, sekali lagi aku coba ingatkan lagi kepada pertanyaannya.

“Begini anakku.., kamu pernah dengar ayat yang bunyinya, bahwa tidak ada satu musibah atau kejadian apapun, kecuali itu terjadi dengan izin dan kehendak Allah…?”

“Ya… aku pernah dengar sih Pak, dan itu memang mudah dimengerti bagi kita yang engga langsung merasakan musibah itu. Apa Bapak masih bisa bicara seperti itu jika musibah itu percis menimpa Bapak...!?”

Astagfirullah…. Tiba-tiba jantung ini serasa berhenti berdetak, pertanyaan anakku seakan bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku. Lalu sejenak aku merenung dan bicara dalam hati, “Memang…. apa aku bisa bertahan dalam suatu musibah ketika kondisi imanku cuma sekedar pandai berwacana, mengerti iman cuma sekedar pengetahuan, tanpa mengerti sedikitpun esensinya iman dalam kalbu itu bagaimana!. Nyatanya, mengerti agama pun tak lebih dari hanya menjalankan rutinitas ritualnya, tanpa memahami esensinya. Seakan aku sudah sholat, puasa, dan seterusnya, itu sudah cukup masuk dalam koridor iman.. huh…!”.

“Koq bengong… Pak?” anakku engga sabar untuk mendengar omonganku selanjutnya.

“Ya.. ya.. tadi sampai dimana..?” aku mulai tersadar jika aku sedang memberi pencerahan kepadanya.

“Sebagai renungan kita bahwa penyebab gempa atau musibah merupakan konsumsi yang sangat layak jual di berita-berita, tapi seperti kamu katakan tadi, itu tak banyak berarti bagi para korban, karena toh gempa sudah terjadi. Menurut Bapak yang jauh lebih penting bagi kita; Yang Pertama musibah itu bisa dimaknai sebagai ‘ujian’; adalah bagaimana kita meyakini kejadian ini sebagai sebuah kehendak Allah SWT, agar kemudian Allah SWT memberi petunjuk kepada kita, memberi petunjuk kedalam hati kita, untuk dapat melanjutkan kehidupan ini dengan lebih baik, sebagaimana kelanjutan ayat tadi”. “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kedalam hatinya…..” lanjutku.

“Yang Kedua adalah musibah dapat dimaknai sebagai ‘teguran’, bagi yang lalai”.

“Teguran gimana Pak!? timpal anakku.

“Ya…dengan Rahman dan Rahimnya, Allah SWT menghendaki kita menjadi hamba yang baik, hamba yang taat dan semata mengabadi kepada-Nya, namum kadang sifat manusia kita menyebabkan kita lupa dan lalai dengan kewajiban kita sebagai hamba, dan Allah SWT memiliki cara yang tiada terhingga untuk mengingatkan kita agar kita segera sadar dan kembali meretas jalan lurus yang direntangkannya; dan salah satunya adalah dengan gempa atau musibah itu”.

“Oh… begitu Pak… ada yang lain!?”

“Ya… Yang Ketiga; musibah juga bisa dimaknai sebagai ‘hukuman’. Nah.. makna inilah yang mestinya menakutkan, bukankah indikasi kemurkaan Allah SWT pun bisa saja mungkin, mengingat manusia sudah pada melewati batas!?”

“’Hukuman’ Allah SWT kepada kita....!! ya..ya.. mungkin saja”, anakku mecoba memaknai dari persepsinya, dan tanpaknya dia sudah mulai memahami apa yang aku sampaikan.

“Memang sebagian besar penduduk bumi ini lebih mempercayai teori-teori dzahir penyebab musibah dan mengabaikan dan samasekali tidak melihat kodrat dan iradat Allah SWT, kemudian peringatan diabaikan, teguran tidak diperhatikan, satu-satunya cara untuk mengingatkan manusia adalah dengan hukuman, masuk akal kan Pak” anakku meneruskan komentarnya.

“Betul… dan jika hukuman itu juga diabaikan manusia… !”. Ah.. aku seakan tak sanggup meneruskan kalimat yang akan aku sampaikan kepadanya, mengingat, begitu mengerikannya adzab Allah SWT itu jika memang harus ditimpakan kepada manusia di bumi ini. Pemusnahan habitat manusia…, kiamat… nauudzubillah.

“Telah dicontohkan dalam Kitab Suci mengenai adzab-nya Allah SWT, yang telah diturunkan kepada umat manusia sebelumnya, karena ulahnya manusia itu sendiri, namun sedikitpun tidak menjadi peringatan”.

“Anakku.. Dan bukankah sebagian tanda-tandanya sudah ditampakan saat ini..!? Adzab atau hukuman itu akan sangat terasa mengerikan, ketika manusia masih rindu berlebihan celoteh manja anak-anaknya, cucu-cucunya yang manja dan manis. Semua manusia masih merindukan berlebihan akan cinta umur panjang tanpa mengerti umur panjangnya bermaslahat atau sebaliknya, cinta harta yang banyak dengan mengabaikan tatanan halal-haram, cinta kedudukan karena kesombongan, cinta… sejuta cinta yang masih mengawang dan seakan menjanjikan kesenangan sorgawi dunia!”

“Bukankah begitu anakku?” aku tatap wajahnya, dan tak terasa mataku sepertinya kabur kerena air mata.

“Yaa rabb…” aku bergumam lirih… hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hati ini…..