Oleh: Hedi R
"Aku punya pengalaman lucu, Pak," kata anak sulung saya suatu hari.
"Lucu apanya, nak?" .
"Ini pengalaman batin." Anak saya menimpali.
"Lha iya, apa? Pengalaman batin koq dibilang lucu”, desak saya.
Alkisah, ia pun bercerita tentang seekor anjing kecil yang terkaing-kaing di bawah pohon ketika ia sedang bermain-main di halaman rumah tetangganya. Anjing itu, ketika didekatinya, ternyata luka parah di bagian kaki depannya. Makhluk itu tak mampu berjalan. Anak saya pun membopong dan mengobatinya.
Tak berapa lama, benar Anjing itu sembuh. “Dan aku terkejut Pak”, dia melanjutkan ceritanya, “karena ketika aku mau berangkat sekolah, hewan itu menyambutnya di jalan kecil di dekat pohon tempat ia beberapa hari lalu ditemukan. Dan bukan cuma itu.
Dia nganterin aku sampai di tepi jalan raya tempat aku menunggu kendaraan. Dan ketika aku pulang, dia pun menyambutku. Begitu setiap hari. Subhanallah Pak, dia tahu membalas budi."
"Anjing memang hewan paling setia", anak saya terus bercerita dan tampak diraut wajahnya penuh kekagumam.
Rupanya, batin anak saya tersentuh. Orang tua sering tak tahu, kapan batin anaknya bertambah matang. Sebagai seorang ayah, saya merasa berbahagia mempunyai anak yang mulai dapat membaca alam dan memaknai simbol-simbol halus yang tersirat dalam hidupnya.
Diam-diam anjing itu mengajarinya ilmu filsafat kehidupan yang belum tentu diajarkan guru di sekolahnya. Dan pembicaraan selanjutnya kami membicarakan terus mengenai keadaan pertemanan, tentang tolong-menolong, tentang terima kasih tentang loyalitas, dan lain-lain sekitar filosofi kehidupan. Kami mencoba merumuskan nilai-nilai baru untuk orientasi kehidupan hakiki yang mestinya kita harus jalani.
Sering saya berpikir, mungkin tiap pemimpin mendambakan betapa enaknya jika anak buahnya mempunyai jiwa anjing, yang paham akan arti terima kasih dan loyalitas.
“Betapa enaknya hidup penuh loyalitas seperti anjing itu”, saya melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong lamunan, "Sayang ini cuman sekedar impian muluk", saya bergumam.
"Emangnya kenapa, Pak?", anak saya menimpali keheranan.
Saya pun menjelaskan, “memang di kantor-kantor dalam birokrasi apa pun, dan di mana pun loyalitas tak dikenal. Orang, pegawai, karyawan, pada dasarnya cuma loyal pada duit, dan pada cita-citanya sendiri. Tiap orang sibuk berjuang bagi dirinya sendiri.
Tentu saja ada skenario terselubung, ada kedok, pemanis kata, hiasan bibir, atau gincu-yang disebut ideologi yang menutup secara indah, dan memberi pengesahan moral/spiritual terhadap cita-cita pribadinya agar sepak terjangnya tak kelihatan telanjang.
"Apa keadaan kita seburuk itu?" tanyanya.
"Dalam beberapa hal bahkan lebih buruk."
"Apa bapak kecewa, atau putus asa mengharap orang-orang loyal di kantor?"
"Kecewa ya, tapi putus asa tidak."
“Lagi pula di kantor orang sudah tahu sejak dulu, bahwa loyalitas Bapak tak punya arti apapun bagi kepentingan atasan. Bapak harus loyal pada nilai. Maka, dikotomi yang mengkotak-kotakkan orang menjadi "orangnya si ini", "orangnya si itu" jelas bukan orientasi hidup yang sesuai dengan ideologi Bapak”.
Bagi Bapak, loyal pada nilai itu artinya orang cuma loyal pada kantor, pada tujuan bersama. Orientasi ini harus diperjuangkan dengan biaya sangat mahal. Bapak kira inilah kesejatian hidup di dalam semua organisasi.
"Apa ada orangnya yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu?”
“Dan jika mungkin ada, apakah orang-orang sekitarnya menyambut gagasan seperti itu?”
“Bapak tidak tahu!, wong bapakmu ini wong cilik koq alias “wong deso”. Namun, pada awalnya, pada tataran ideal terutama sama-sama di kalangan wong cilik, bukan cuma menyambut tapi bahkan ada yang cepat memuji, bahwa gagasan ini demokratis bernuansa spritual, dan bahwa baru dalam masa seperti itulah suatu pelaku organisasi diajari orientasi yang benar, dan diberi otonomi pada masing-masing pelakunya."
“Jika ada orang yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu…!?,”
“Dia pasti orang baik ya pak!?, kata anak saya.
"Mungkin. Tapi mungkin pula penjilat."
"Loh koq begitu? Apa karena berkaitan dengan ketulusan?"
"Tulus itu urusan hati”. Dan menjilat urusan mulut dan lidah”, kita tahu bahwa “lidah orang bilang-tak bertulang."
"Siapa tahu orang yang loyal seperti itu beneran."
“Memang tak mustahil di suatu kantor ada loyalitas tulen. Tapi loyalitas tak bisa ditentukan buru-buru. Kalau orang tampak loyal hanya semasa aktif, saat menjabat, bandit pun bisa lebih dari itu. Maka, tunggulah sampai masa pensiun. Kalau setelah pensiun ia memusuhi atasan, memfitnah, atau menipu, tahulah kita bagaimana status batin manusia jenis ini”
.
“Kita sering lupa, Tuhan menjadikan manusia dalam seindah-indahnya kejadian. Tapi, Tuhan pun maha kuasa bila kita culas, busuk, dan ingkar bagiNYA mudah mengubah status kita menjadi lebih hina dari hewan melata.
Sering saya termangu-mangu membaca firman itu. Dan sering pula saya heran, roda hidup berputar cepat, dan anak saya, tiba-tiba sudah mahasiswa.
"Nak, renungkan terus filsafat anjingmu itu baik-baik. Ia memberi kita renungan, bahwa bila manusia ingin menjadi manusia sejati yang tahu membalas budi, dan memiliki loyalitas maka ia harus gigih belajar dari sesama, juga dari anjing.”
(HED: Cerita ini diilhami dari cerita manusia dan anjing karya MS)