Wednesday, November 14, 2007

AKU...



Aku t'lah mengalami tanpa sadar
47 kali putaran bumi mengelilingi mentari
langkah terseok seorang anak manusia
menggapai sedikit asa tak terhitung
Aku datang dari sebuah dunia yang s’lalu menanti harapan
Aku meraba dalam gelap dengan mata yang ditajamkan
S’lalu mencari apa yang mungkin tak bisa dicari
S’lalu mendalami apa yang mungkin tak bisa didalami
S’lalu berjalan dalam terjal alam
Selamat Ulang Tahun laki-laki hobi protes
Selamat Ulang Tahun pengkhayal kelas kakap
Selamat Ulang Tahun.....
Semoga Tuhan selalu bersamamu

Monday, September 03, 2007

The Power of Giving


Oleh Hedi Rachdiana

Pak Salam seorang pengendara vespa, berhenti dan meminggirkan vespanya karena mogok, lalu dia bergumam “Hmm… jangan-jangan kehabisan bensin nih”, lalu dia mencoba memiringkan vespanya, dia coba starter kembali, dan berhasil vespanya hidup kembali. Pak Salam melanjutkan perjalanannya. Namun, kira-kira seratus meter kemudian, vespanya mogok kembali.

Sambil mencari pompa bensin, Pak Salam mendorong vespanya. Di persimpangan perjalanan dia ragu antara terus mencari pompa bensin atau mampir di mesjid untuk menjalankan sholat dhuhur dulu. Timbang pemikiran, dia putuskan untuk sholat dulu.

Rupanya di mensjid itu sedang melakukan pengajian mingguan ba’da dhuhur. Dalam pengajian tersebut Pak Ustadz sedang mengambil tema kajiannya “The Power of Giving” (Kekuatan sedekah). Pak Salam semakin penasaran, akhirnya dia putuskan untuk mengikuti pengajian itu sampai selesai.

Pada akhir pengajian Pak Ustadz mencoba menguji para jamaahnya, sampai dimana pemahaman pengajian tersebut bisa dipraktekkan. Maka digelarlah sejadah untuk mempersilahkan para jamaah memberikan sedekahnya. Seperti biasanya kumpulan hasil sedekah para jamaah pengajiannya disalurkan panitia untuk menyantuni anak yatim yang ada di pondok pesantrennya.

Di dalam dompet Pak Salam hanya ada 10rb rupiah, itupun rencananya untuk membeli bensin. Karena didorong suatu keyakinan dari ceramah yang disampaikan Pak Ustadz, maka diputuskanlah oleh Pak Salam untuk memberikan uang yang hanya 10rb rupiah itu ke atas sajadah. Dan jika terjadi harus mendorong vespanya, itulah resiko dari suatu pengorbanan. Demkianlah Pak Salam memutuskan untuk melawan segala bisikan keraguan dalam hatinya.

Sambil sesekali menyeka keringatnya Pak Salam terus mendorong vespanya. Namun, ketika di tengah perjalan, tiba-tiba ada pengendara sedan yang merendahkan kecepatan dan mengikuti arah perjalanan Pak Salam. Pengendara sedan membuka kacanya, lalu menegur Pak Salam, “Hai.. kenapa vespanya?”. Secara refleks Pak Salam menengok kearah orang yang bertanya. Dengan tersipu Pak Salam menjawab “Ini bensinnya ente”. Rupanya Pak Salam mengenalinya karena si pengendara sedan itu ternyata teman lamanya yang bernama Pak Salim.

“Udah kamu parkir aja itu vespa di tempat yang aman, dan aku antar kau ke pompa bensin” Pak Salim menawarkan jasanya. Dalam perjalanan menuju ke pompa bensin berceritalah keduanya, tentang keadaan keluarganya. “Kau punya anak berapa? Pak Salim memulai pembicaraan. “Aku punya anak tiga”. Pak Salam menjawab. “Bersyukurlah…, Tuhan telah memberi anugerah padamu”. Pak Salim menimpali. Namun tampak di raut wajahnya antara bangga kepada temannya dan rasa iri mengingat dirinya selama ini belum juga dikarunia anak, padahal perkawinannya telah berjalan 10 tahun.

“Ah.. sebetulnya kaulah yang beruntung… Kau sukses dalam hidupmu. Sementara aku punya anak tiga…!, tapi kehidupanku…!? ya… seperti inilah!” Pak Salam menimpali. “Kalau begitu kita tukar…!, aku mau seperti kau, dan kau seperti aku…!?”. Pak Salam sejenak terdiam, seakan menyesali apa yang baru saja diucapkannya.

Tak lama kemudian sampailah keduanya di pompa bensin, dan dibelilah bensin sebanyak 5 lt, yang dibayarkan Pak Salim. Dan mereka kembali ke tempat penitipan vespanya Pak Salam. Lalu setelah meyakinkan vespanya Pak Salam hidup kembali, Pak Salim pamitan. Namun, beberapa langkah kemudian, Pak Salim kembali lagi ke tempat Pak Salam sedang mencoba vespanya, dan menyodorkan sebuah amplop ke tangan Pak Salam. “Apa ini…!?, Pak Salam bertanya. “Sudahlah…! aku titip ini amplop buat istrimu, kau jangan coba-coba buka ini amplop sebelum sampai ke tangan istrimu!”. Pak Salim menutup pembicaraan, dan tak lama kemudian dia meluncur dengan sedannya.

Sampai di rumah alangkah kaget istrinya, ketika membuka amplopnya ternyata uang sejumlah 2jt rupiah. Rupanya Pak Salim mendapatkan uang tersebut dari bonus perusahaannya yang diberikan seluruhnya kepada Pak Salam. Subhanallah…

Demkianlah kisah Pak Salam dan Pak Salim, yang bagi kita bisa diambil hikmah, bahwa: kadang kita sering melupakan janji Tuhan, padahal dengan jelas di tulis di QS Al-An’aam ayat 160 “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.

Kisah ini penulis ceritakan kembali yang diilhami dari kisah nyata yang diceritakan oleh ustadz Yusuf Mansyur. Pak Salim dan Pak Salam adalah nama samaran).

Friday, August 31, 2007

DARI KAMI,


AKU BERDIRI DI SINI BUKANLAH LAGI CERAMAH, ATAU
BUKAN PULA SEDANG BERKELUH-KESAH
INI DIANTARA KITA TENTANG PERJALANAN KEHIDUPAN
BAHWA AKHIRNYA WAKTU JUALAH YANG MEMISAHKANNYA
WALAU BERAT, NAMUN KITA HARUS TEGAR DAN IKHLAS MELEPASKANNYA
SETEGAR DAN IKHLAS YANG MEMANCAR SELAKSA CINTA PENUH MAKNA YANG MEMBIAS DARI SENYUM DAN WIBAWA KEIBUANNYA
PESAN KEBIJAKANNYA ADALAH WARNA DASAR PADA KEHIDUPAN ORGANISASI KITA
SAYANG… SEGALANYA MENJADI BERUBAH SELAGI PERJUMPAAN DIANTARA KITA BELUMLAH SEUMUR JAGUNG
WAKTU TELAH MEMISAHKAN KITA
SELAMAT JALAN, SEMOGA BAHAGIA SENANTIASA MENYERTAINYA
TAK ADA YANG KAMI MOHON DARINYA, SELAIN DOANYA
BAGAI DOA SEORANG IBU TUK ANAK-ANAKNYA

DOA KAMI,

(dipersembahkan untuk perpisahan direktur, 2004)

Berapa Lama Aku di Kubur?


Awan sedikit mendung, ketika kaki langkahku terseok-seok mengayun di atas jalan bebatuan dan menanjak menuju pemakaman tempat ibu, ayah serta kakekku dimakamkan. Sambil sesekali bicara mengenang masa kecilku, sesaat teringat jalanan itu adalah jalanan yang setiap hari kutapaki ketika ibu atau ayahku mengajakku ke kebun yang saat ini berubah menjadi tempat pemakaman keluargaku. Tak lama aku sampai di atas seonggok nisan yang bertuliskan “Hj. Ocih Sofiah binti Mansyur, lahir Garut 01-08-1924 wafat 16-04-1998“ dan disebelahnya terdapat seonggok nisan yang bertuliskan “H. Sumarna bin Kardi, lahir Garut 07-05-1914 wafat 05-04-1984”

Sesaat aku berhitung…Ibu waktu meninggal umur 74 tahun. Hmm, Ibu sudah meninggal 7 tahun lalu, aku bergumam sambil mataku menerawang. Ya, ibuku sudah di dalam kubur 7 tahun!?. Lalu aku memutar kepala, kupandang nisan ayah. Ohh... ayah sudah meninggal 21 tahun yang lalu!?.

“Aku teringat, ustadz khan pernah bilang kalau kita mati, lalu di kubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa di neraka. Lalu?... aku mencoba mencari-cari jawaban dari pertanyaan yang tersirat dari pertanyaanku sendiri. Kalau Ibu dan ayah banyak dosanya, berarti ayah sendiri sudah disiksa 21 tahun!? Kalau ayah banyak pahalanya, berarti sudah 21 tahun senang di kubur!? Subkhanallah…Mataku menerawang dan cemas, ketika aku juga ingat akan diriku, apa yang akan terjadi dengan diriku, jika aku harus mati besok atau lusa!?.

Pulang dari pemakaman aku gelisah, di atas sajadahku memikirkan apa yang tersirat dari pertanyaan-pertanyaanku, apa yang terjadi jika aku mati sekarang, sementara kiamat masih seribu, duaribu tahun lagi!? Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’un... air mataku menetes.....Sanggupkah aku selama itu disiksa? Iya kalau kiamat seribu tahun ke depan, kalau sejuta tahun ke depan? Kalau seratus juta tahun lagi? Selama itu aku akan disiksa di kubur... Lalu setelah di kubur? Bukankah akan lebih parah lagi? Air mataku semakin membanjiri sejadahku ..... Allahumma as aluka khusnul khootimah berulang-kali kubaca doa itu sementara pikiranku semakin menerawang jauh... Segala ingatanku menerawang mengira-ngira apa yang akan terjadi dengan Anak-Istriku… Saudara-saudaraku… Bagaimana dengan kehidupan mereka selama aku di kubur!?

Sementara aku mengenang kerinduanku akan masa kecilku, rasanya berat aku harus meninggalkan kota kelahiranku untuk menuju dan kembali ke rutinitas kehidupaku yang sepertinya juga tidak menjanjikan, jika aku tak ingat akan amanah kepada anak-anakku.

Laa haola walakuwwata illabilla khillaliyil adzim…tergetar lidahku ketika terucap dari doaku sebagai tekadku bahwa aku harus kembali ke duniaku, walau dunia yang penuh rutinitas itu tak menjanjikan apa-apa… Dunia yang tak pernah bisa kupahami hakekatnya. Kecuali…aku harus lebih mengenal lagi siapakah aku…!?

Hed/2005

SECANGKIR KOPI


Oleh: Hedi R

Pagi tanpa secangkir kopi bagiku ibarat mandi pagi tanpa gosok gigi, secercah harapan terbersit seirama kepulan uap dari cangkir kopi panas dibarengi dengan aroma kopi segar.

Kopi memang merupakan stimulan positif yang menyebabkan tubuh terasa lebih segar dan meningkatkan gairah kerja. Kafein yang terkandung di dalam kopi dapat membantu merubah cadangan lemak menjadi energi.

Menurut para ahli kafein memang golongan zat yang punya kemampuan menstimultan otak. Kafein yang merupakan bagian dari kelompok senyawa metilsantin, sedangkan bagian lain dari senyawa ini dikenal sebagai trofilin dan teobromin yang salah satu sumber utamanya adalah dari kopi. Kafein dalam kopi mampu memberikan sinyal pada otak untuk lebih cepat merespon dan dengan cepat mengolah memori pada otak. Demikian sumber permasalahan kopi mangatakan.

Tapi aku tidak mau ambil pusing dan tidak mau repot tentang kopi itu. Secangkir Kopi tetaplah hanya sebagai minuman hangat yang barangkali dapat membantu aku mencerna setiap permasalahan. Maka semakin pelik persoalan di benakku, segelas kopi diharapkan dapat menetralisir dari analisis spontan yang timbul di benak ini.

Kebutuhan hidup meningkat; harga-harga semakin tak terkendali, bencana alam, tarif listrik, tarif telepon, beras, bensin, kebutuhan anak sekolah, keadaan kantor yang tidak menjanjikan masa depan, dan sejuta persoalan lainnya tenggelam dalam seruput kopiku yang untuk kesekian kalinya.

Tentang kopi sekali lagi itu adalah data dan fakta yang bagiku tidak akan menjadi persoalan. Meski data dan fakta adalah suatu hal yang layaknya diketahui, sama halnya dengan kelayakan aku atau kita semua untuk memahami yang tersirat dan tersurat dari maksud orang menyampaikan sesuatu, atau ingin memahami arah hidup dan mencari kehidupan.

Dalam hal ini, yang dipahami bagi orang semacam aku yang dhoif namun penuh dengan impian ini, kenyataannya adalah; SATU TAMBAH SATU BELUM TENTU DUA.

Uhk…., aku hampir tersedak karena tegukan kopi terakhirku menyentuh ampas kopi, dan akhirnya aku mengakhiri minum kopiku untuk selanjutnya menuju ke rutinitasku untuk menuai peluang-peluang kehidupan yang oleh sebagian orang bisa jadi untuk mendapatkan peluang kehidupan atau rejeki dan menjadikan rejeki itu berada dalam genggamannya, rumusannya juga cukup sederhana juga, bahwa; SATU TAMBAH SATU SUDAH PASTI DUA.

Thursday, August 30, 2007

Hi.. hi...


wahai para wanita engkau selalu dengungkan emansipasi
sesungguhnya kami para lelaki
tak pernah ijinkan engkau melakukan pekerjaan kami
yang memang mestinya itu dilakukan kaum lelaki
selain bersenergi
untuk melakukan apa yang kami para kaum lelaki
tak mampu mensiasati
apapun yang bisa dilakukan oleh para kaum lelaki
dan... lahan tempat kami mencari rezeki
jua sebagian telah engkau renggut dengan mengatasnamakan emansipasi
kini ketika semuanya tak lagi mengabaikan fitrah
Hi.. hi... engkau mengeluh seakan derita tak tertanggung lagi
mencari empati kaum lelaki adalah suatu yang kontradiksi
mungkin kembali ke fitrah tuk menjadi ibu sejati adalah solusi

Cerita Seorang Bapak dengan Anaknya


Oleh: Hedi R

"Aku punya pengalaman lucu, Pak," kata anak sulung saya suatu hari.
"Lucu apanya, nak?" .
"Ini pengalaman batin." Anak saya menimpali.
"Lha iya, apa? Pengalaman batin koq dibilang lucu”, desak saya.

Alkisah, ia pun bercerita tentang seekor anjing kecil yang terkaing-kaing di bawah pohon ketika ia sedang bermain-main di halaman rumah tetangganya. Anjing itu, ketika didekatinya, ternyata luka parah di bagian kaki depannya. Makhluk itu tak mampu berjalan. Anak saya pun membopong dan mengobatinya.

Tak berapa lama, benar Anjing itu sembuh. “Dan aku terkejut Pak”, dia melanjutkan ceritanya, “karena ketika aku mau berangkat sekolah, hewan itu menyambutnya di jalan kecil di dekat pohon tempat ia beberapa hari lalu ditemukan. Dan bukan cuma itu.
Dia nganterin aku sampai di tepi jalan raya tempat aku menunggu kendaraan. Dan ketika aku pulang, dia pun menyambutku. Begitu setiap hari. Subhanallah Pak, dia tahu membalas budi."

"Anjing memang hewan paling setia", anak saya terus bercerita dan tampak diraut wajahnya penuh kekagumam.

Rupanya, batin anak saya tersentuh. Orang tua sering tak tahu, kapan batin anaknya bertambah matang. Sebagai seorang ayah, saya merasa berbahagia mempunyai anak yang mulai dapat membaca alam dan memaknai simbol-simbol halus yang tersirat dalam hidupnya.

Diam-diam anjing itu mengajarinya ilmu filsafat kehidupan yang belum tentu diajarkan guru di sekolahnya. Dan pembicaraan selanjutnya kami membicarakan terus mengenai keadaan pertemanan, tentang tolong-menolong, tentang terima kasih tentang loyalitas, dan lain-lain sekitar filosofi kehidupan. Kami mencoba merumuskan nilai-nilai baru untuk orientasi kehidupan hakiki yang mestinya kita harus jalani.

Sering saya berpikir, mungkin tiap pemimpin mendambakan betapa enaknya jika anak buahnya mempunyai jiwa anjing, yang paham akan arti terima kasih dan loyalitas.

“Betapa enaknya hidup penuh loyalitas seperti anjing itu”, saya melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong lamunan, "Sayang ini cuman sekedar impian muluk", saya bergumam.

"Emangnya kenapa, Pak?", anak saya menimpali keheranan.

Saya pun menjelaskan, “memang di kantor-kantor dalam birokrasi apa pun, dan di mana pun loyalitas tak dikenal. Orang, pegawai, karyawan, pada dasarnya cuma loyal pada duit, dan pada cita-citanya sendiri. Tiap orang sibuk berjuang bagi dirinya sendiri.
Tentu saja ada skenario terselubung, ada kedok, pemanis kata, hiasan bibir, atau gincu-yang disebut ideologi yang menutup secara indah, dan memberi pengesahan moral/spiritual terhadap cita-cita pribadinya agar sepak terjangnya tak kelihatan telanjang.

"Apa keadaan kita seburuk itu?" tanyanya.
"Dalam beberapa hal bahkan lebih buruk."
"Apa bapak kecewa, atau putus asa mengharap orang-orang loyal di kantor?"
"Kecewa ya, tapi putus asa tidak."

“Lagi pula di kantor orang sudah tahu sejak dulu, bahwa loyalitas Bapak tak punya arti apapun bagi kepentingan atasan. Bapak harus loyal pada nilai. Maka, dikotomi yang mengkotak-kotakkan orang menjadi "orangnya si ini", "orangnya si itu" jelas bukan orientasi hidup yang sesuai dengan ideologi Bapak”.

Bagi Bapak, loyal pada nilai itu artinya orang cuma loyal pada kantor, pada tujuan bersama. Orientasi ini harus diperjuangkan dengan biaya sangat mahal. Bapak kira inilah kesejatian hidup di dalam semua organisasi.

"Apa ada orangnya yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu?”
“Dan jika mungkin ada, apakah orang-orang sekitarnya menyambut gagasan seperti itu?”

“Bapak tidak tahu!, wong bapakmu ini wong cilik koq alias “wong deso”. Namun, pada awalnya, pada tataran ideal terutama sama-sama di kalangan wong cilik, bukan cuma menyambut tapi bahkan ada yang cepat memuji, bahwa gagasan ini demokratis bernuansa spritual, dan bahwa baru dalam masa seperti itulah suatu pelaku organisasi diajari orientasi yang benar, dan diberi otonomi pada masing-masing pelakunya."

“Jika ada orang yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu…!?,”
“Dia pasti orang baik ya pak!?, kata anak saya.

"Mungkin. Tapi mungkin pula penjilat."

"Loh koq begitu? Apa karena berkaitan dengan ketulusan?"

"Tulus itu urusan hati”. Dan menjilat urusan mulut dan lidah”, kita tahu bahwa “lidah orang bilang-tak bertulang."

"Siapa tahu orang yang loyal seperti itu beneran."

“Memang tak mustahil di suatu kantor ada loyalitas tulen. Tapi loyalitas tak bisa ditentukan buru-buru. Kalau orang tampak loyal hanya semasa aktif, saat menjabat, bandit pun bisa lebih dari itu. Maka, tunggulah sampai masa pensiun. Kalau setelah pensiun ia memusuhi atasan, memfitnah, atau menipu, tahulah kita bagaimana status batin manusia jenis ini”
.
“Kita sering lupa, Tuhan menjadikan manusia dalam seindah-indahnya kejadian. Tapi, Tuhan pun maha kuasa bila kita culas, busuk, dan ingkar bagiNYA mudah mengubah status kita menjadi lebih hina dari hewan melata.
Sering saya termangu-mangu membaca firman itu. Dan sering pula saya heran, roda hidup berputar cepat, dan anak saya, tiba-tiba sudah mahasiswa.

"Nak, renungkan terus filsafat anjingmu itu baik-baik. Ia memberi kita renungan, bahwa bila manusia ingin menjadi manusia sejati yang tahu membalas budi, dan memiliki loyalitas maka ia harus gigih belajar dari sesama, juga dari anjing.”

(HED: Cerita ini diilhami dari cerita manusia dan anjing karya MS)

Bumi Semakin Panas


Oleh: Hedi Rachdiana

Bumi semakin panas, pemanasan global, itulah isu yang kita rasakan sekarang ini, dan isu ini sampai kapankah berakhir?. Nyatanya hari demi hari yang dirasakan memang bumi semakin panas. Jam 8 pagi dirasakan panasnya sama dengan jam 12 siang masa dekade 20 tahunan ke belakang. Bahkan di Amerika sana telah disimulasikan oleh komputer, bagaimana jadinya jika pemanasan global ini mampu mencairkan kutub atau benua Antartika, hasilnya permukaan laut akan meninggi sampai 60 meter tingginya, bukankah jika terjadi maka bumi ini menjadi kiamat?.

Bumi semakin panas, persaingan hidup semakin keras. Bahkan setiap orang bak ada di dunia satwa hutan belantara dimana hukum rimba berlaku, si kuat memangsa si lemah demi sekedar mengenyangkan perutnya. Berjuta problema kehidupan membayangi silih berganti, terkadang problem yang satu belum tersolusi, datang pula problem lainnya, hal ini terus bertumpuk dan tak pernah berujung dalam penyelesaian.

Bumi semakin panas, eksploitasi alam terus berlangsung, pemerkosaan hutan, cuaca tak menentu, petani tidak bisa lagi melakukan jadwal tanamnya seperti dulu, banjir, longsor ketika musin hujan, atau kekeringan ketika musim kemarau. Sementara itu, di setiap jalanan atau gang sempit, becek kumuh berjubel ratusan orang dewasa dan anak-anak memenuhi jalanan bak kelinci dikandangnya. Mereka melakukan aktivitas seharian tanpa mengenal waktu berbaur satu sama lain tanpa mengindahkan norma-norma kaedah dalam pergaulannya. Mereka mau jadi apa nantinya?
Benar atau salah, semua permasalahan tersebut tidaklah terlepas dari terlalu banyaknya populasi manusia di bumi ini, lebih-lebih sebagian besar dari mereka itu secara moral tidak berkualitas. Di lain pihak, ada sekelompok orang yang masih menganut paham pepatah “banyak anak banyak rejeki”, sehingga tak mustahil pada zaman yang sudah maju ini masih ada dalam sebuah keluarga dengan jumlah anak belasan orang terutama di pedesaan, tapi tidak sedikit pemahaman “banyak anak banyak rejeki” itu juga dianut oleh mereka yang notabene adalah orang-orang intelek.

Apakah faktor terlalu banyaknya manusia ini berpengaruh terhadap ekosistem alam? Menurut berita yang bersumber dari Kompas Cybermedia, menyebutkan bahwa “Manusia telah merusak Bumi dengan kecepatan yang tidak diduga sebelumnya. Hal ini meningkatkan resiko kerusakan alam yang bisa mengakibatkan munculnya penyakit, kekeringan, atau zona mati di lautan”.

Lebih lanjut Kompas menyebutkan bahwa; “Penelitian yang melibatkan 1.360 ahli dari 95 negara ini menyebutkan naiknya populasi manusia selama 50 tahun terakhir telah meningkatkan pencemaran dan eksploitasi berlebih terhadap dua pertiga sistem ekologi yang menjadi tumpuan kehidupan.

Aktivitas manusia telah merusakkan fungsi alami Bumi dan kemampuan eskosistemnya sehingga barangkali tidak akan ada yang tersisa bagi generasi mendatang. Disebutkan, sepuluh hingga 30 persen mamalia, burung, dan jenis-jenis amfibi telah terancam punah. Ini adalah tanda menurunnya dukungan bagi kehidupan di planet kita.

Selama 50 tahun terakhir, manusia telah mengubah ekosistem secara lebih cepat dan meluas dibanding waktu lain dalam sejarah. Pertumbuhan permintaan makanan, air, kayu, serta bahan bakar belum pernah sebanyak jangka waktu itu. Ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman kehidupan di Bumi”.

Lebih lanjut Kompas Cybermedia menyebutkan, bahwa “dicontohkan, sejak tahun 1945, semakin banyak tanah yang berubah menjadi lahan pertanian atau pemukiman dibandingkan sepanjang abad 18 dan 19”.

Apakah keprihatinan ke depan itu tidak berkepanjangan?. Tengoklah statistik kependudukan yang menyatakan bahwa pada tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 9,2 miliar dan penduduk Indonesia 280 juta. Padahal sebagaimana di lansir Kompas Cybermedia tersebut bahwa terlalu banyaknya penduduk itu selain berpengaruh secara revolusioner terhadap faktor ekosistem juga akan mempengaruhi langsung sektor ekonomi dan sosial.

Untuk itu, tidak ada salahnya kita merenung sejenak untuk menyikapi ayat berikut: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS 13:11).

Kita tidak bermuluk-muluk ingin merubah dunia, tapi percayalah kita hidup syarat dengan permasalahan ini justru karena kita hidup di dunia, mau atau tidak kita ada didalamnya.

Tanpa Judul


Ini tentang Kita
Ingin tak bertanya, kenapa
Mengapa mesti bertanya
Kulihat ke kiri dan ke kanan,
ke belakang jua ke depan
Ada sesuatu yang menggugah rasa
Haruskan terpendam rasa tuk bertanya
Walau tlah bertanya, jua
Nyatanya bertanya tak kunjung berbuah asa
Ingin ku tak bertanya
Lalu tak bertanya, memangnya kita kenapa??

Wednesday, August 29, 2007

KENAPA


Aku bukanlah seorang penyair dari kata genre sastra
aku adalah penyair kehidupan
yang kenyang dengan terpaan badai dan topan
yang kenyang dengan pahit asam kehidupan
orang memandangku si lugu hanya pandai memainkan kata

Aku adalah penyair kehidupan
Yang mengungkapkan segala perasaannya lewat puisi
Puisi kehidupan, dari segala asa yang terkubur
Seorang Penyair kehidupan mengungkapkan segala perasaannya dengan puisi
bukan dengan angka kebohongan
bukan dengan rumus yang orang bingung mencernanya
angka dan rumus dimanifulasinya
sekedar berwawansabda kepada dunia dengan kemunafikan

Puisi kehidupanku sebagai ungkapan interaksi batinku yang paling dalam
Dari pandangan inilah segenap rasa dan karsa berhulu
Dari pandangan mata hati yang tidak dilihat orang kebanyakan
Semua hal di dunia ini bagi seorang penyair kehidupan adalah puisi
Aku hanya perlu sedikit ruang sunyi, sejuk bermanik kedamaian
Namun, dari sebuah sudut sempit yang tidak diperhatikan orang lain
Dari situ aku dapat memandang hiruk-pikuk kemunafikan
Sesak nafasku syarat dengan tanya, kenapa

(hed, medio 2007)

Friday, March 23, 2007

Memangnya kenapa


Ketika Hindu atau Budha menyembah berhala,
Ada juga yang menyembah patung Yesus dan Bunda Maria
Dan kita menyebutnya kafir,
Ketika para ustadz dan kyai melapalkan Quran sebagai aji-aji pengusir setan, jin ifrit dan sebagainya
Jua, mereka menanyakan kenapa Kabah disembahnya
Maka dijawabnya:
Itu bukan menyembah, tapi sekedar menghadap katanya,
Alasan yang sama dengan mereka
Karena merekapun hakekatnya melakukan yang sama
Lalu, dimana perbedaannya?
Kita harus pandai-pandai bertanya pada nurani dan akal mestinya
Kita punya Quran yang syarat dengan tafsirannya

Lalu aliran dan banyak aliran bermunculan dimana-mana
Kenapa harus berkiblat kepada aliran…?
Akankah kafir, kufur, bidah dan sejuta istilah kesesatan ditujukan kepada sesama seaqidah?
Meskikah sholat, puasa yang dilakukan, adalah alasannya?
Seakan surga pun mutlak miliknya
Walau tak memahami apa hakekatnya
Nyatanya kedzalimanpun masih merajalela dimana-mana, mungkin termasuk dirinya
Ada sesuatu yang lebih nyata
Bercermin pada alam misalnya
Kenapa musibah demi musibah hadir menjamah bersama kehidupan manusia
Kenapa mereka tak menyadarinya
Alam selalu jadi sasaran gamblang penyebabnya
Manusia memang begitu tabiatnya
Orang bodoh dibilang cerdas, bodoh dibilang pandai
Orang yang benar dan salah tak jelas jadinya

Jika ada yang bertanya kepada kita,

Sholat itu apa dan untuk apa?
Puasa itu bagaimana dan untuk apa?
Zakat itu untuk apa?
Haji itu untuk apa?
Apa untuk mendapatkan syurga?
Dan syurga itu gimana dan dimana?
Apa yang mesti kita jawab,
Dan….. ketika kita tidak bisa menjawabnya
Mestikah ibadah orang lain dicaci-makinya
Seakan surgapun sudah ada dalam genggamannya
Padahal ketika ditanya syurga itu apa
kita tak menjawabnya…

Kalau tidak tahu syurga itu apa
Terlalu naif kita berharap mendapatkannya
Ahh.. mestinya kita tak perlu pula menyalahkan bagaimana mereka
Karena nyatanya kita jua belum benar adanya
Nyatanya kita tidak tahu tujuan kita ke mana akhirnya.

Hidup ibarat benih padi yang ditebar di atas persemaian


Oleh: Hedi Rachdiana
(Dalam renungan)

Ketika musim tanam padi tiba pak tani menyiapkan persemaian dan disiapkanlah segala kebutuhan seperti benih, pengairan yang cukup, dan lain sebagainya. Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, maka pak tani pun mengambil benih padi itu dan genggam demi genggam ditebarkanlah dengan sangat hati-hati ke atas persemaian yang sudah disiapkan.

Namun tak urung dari beberapa genggam benih padi yang ditebar pak tani, ada beberapa butir padi yang terpental tidak tepat jatuh di atas persemaian. Walau itu sesuatu yang tidak diharapkan, pak tani pun tetap membiarkannya, karena sesuatu yang tak mungkin untuk memungutnya satu persatu dan menempatkan benih padi yang terpental itu tepat pada tempatnya.

Selang beberapa waktu kemudian tumbuhlah benih padi itu menjadi kecambah. Selanjutnya, benih yang jatuh tepat di atas persemaian yang sudah disiapkan pak tani, maka benih itu tumbuh dengan suburnya. Lain halnya dengan benih yang terpental tadi, benih itu tumbuh dengan tunas yang kurus dan daunnya yang menguning, tipis harapan baginya akan dipakai pak tani untuk dipindahkan ke lahan sawah.

Mujur sekali nasib benih padi yang jatuh tepat di persemaian pak tani itu, karena setelah dipindahkan ke lahan sawah manapun akhirnya tumbuh subur dan menghasilkan bunga serta butiran padi yang lebat. Namun, tidak demikian dengan benih yang terpental itu, mereka tumbuh kurus layu dan akhirnya mati sebelum dipindahkan.

Demikianlah proses perjalanan hidup manusia, ada yang tumbuh seperti benih yang jatuh tepat di persemaian yang sudah disiapkan hingga tumbuh subur dan menghasilkan karya-karya nyata selama hidupnya, ada pula yang hidup tidak sesuai harapan hingga selalu dalam kepapaan selama proses hidupnya.

Manusia tak pernah bisa menawar harus tumbuh dimana dan dengan cara bagaimana, karena hakekatnya manusia terlahir bukanlah kehendaknya, juga ditebar di atas dunia inipun tak bisa ditolaknya. Manusia dan makhluk lainnya semua hanya ada dalam satu genggamanNYA yaitu Tuhan Yang Maha Pengatur segalanya.

Dunia ini adalah persemaian untuk menuju alam selanjutnya, dan manusia adalah benih yang ditebar untuk menghasilkan karya. Lalu, pernahkah kita berfikir dan mempertanyakan keberadaan diri kita ini, apakah kita termasuk benih yang ditebar tepat jatuh di atas persemaian ataukah sebaliknya.

Kalaulah kita memang termasuk yang beruntung karena terlahir dari sebuah benih dan persemaian yang baik dan benar, lalu syukur apa yang telah kita sampaikan sebelum semuanya terlambat karena akhirnya pak tani pun akan menggarap persemaian itu untuk selanjutnya ditebar lagi benih yang baru.

Dan jika kita nyatanya bukan termasuk yang beruntung, maka bersabarlah karena hal yang sama pak tani itu akhirnya akan menggarap persemaian itu dan menebarkan benih yang baru lainnya. Manusia itu bernasib baik atau tidak akhirnya hanya menuju kepada sebuah tempat dimana hakekatnya manusia itu hidup, yaitu sorga atau neraka. Hidup di dunia ini bukanlah segalanya.

HIDUP MESTINYA BAGAI AIR KECIL JERNIH MENGALIR


Oleh: Hedi Rachdiana

Hidup mestinya ibarat air kecil jernih mengalir, mengalir dari hulu ke hilir dengan lincahnya, dan jangan coba-coba menyumbat aliran air karena ketika menggenang akan menimbulkan bau tak sedap untuk sekitarnya dan mengundang berbagai penyakit, dan ketika kita mempermainkannya, maka air pun terkadang datang bagai amarah bah dan tak ada seorangun yang mampu menahannya.

Hidup dituntut harus bergerak walau tidak sekedar mengejar obsesi semata, tapi memikirkan dan berbuat untuk orang lain. Orang bijak mengatakan : ”Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi, siapa yang mau memikirkan orang lain, dia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.” (Sayyid Qutb).

Sungguh malang hidup seorang yang tidak punya makna kebaikan bagi orang lain, apalagi jika kehadirannya justru menjadi masalah bagi orang lain, karena itulah rahasia hidup pribadi unggul bahwa sebaik-baiknya kehidupan adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan sejauhmana hidup kita bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain? Memberi solusi bagi orang lain? Atau malah bikin masalah bagi orang lain ibarat air bah?

Air mengalir terus dan terus menuju ke tempat tertentu dan akhirnya bermuara di laut. Hidup seharusnya juga begitu, mempunyai orientasi dan tujuan yang jelas, tidak sekedar mengalir begitu saja. Hidup harus ibarat air, jika terhambat selalu mencari celah mencari jalan keluarnya. Jika air bermuara di laut, maka hidup muaranya adalah kematian. Suka atau tidak saatnya akan tiba. Memanfaatkan waktu adalah solusi agar hidup tidak menjelma bak air bah yang mampu menggilas apapun yang menghambatnya.

Air kecil jernih mengalir selalu memberi kesejukan mata jika dipandang, kesejukan hati jika dirasa, dan selalu dirindukan kehadirannya. Jadilah hidup bagai air kecil jernih mengalir.