Tuesday, July 18, 2006

BERITA KEMARIN DAN HARI INI


Berita lagi, berita lagi
Lebih dahsyat dari berita selebriti
Bencana lagi, bencana lagi
Lebih parah dari bencana korupsi

Derita lagi, derita lagi
Derita datang lagi
Menjemput maut anak negri
Datang dari murka perut bumi

Sedu sedan tangis yang kemarin
Belum lagi henti
Gempa lagi, tsunami lagi
Bencana seakan tak henti

Air mata masih di pipi
Menangisi bencana ini
Air mata kemarin belum lagi kering
Kini air mata ini memang sudah kering

Terkuras tangis menyayat-nyayat hati
Oleh derita kemarin
Tangisku kini telah menembus ulu hati
Bagai ditusuk sembilu, perih, pedih

Saatnya untuk merenung diri
Ku takut gempa dan tsunami akan menimpa diri
Bukankah berita hari ini
Sama dengan berita kemarin

Bak cerita episode berseri
Tangis hari ini adalah tangis kemarin
Derita hari ini jua derita kemarin
Gempa dan tsunami kapankah berakhir?

Ah… tak usahlah aku sedih mengharu biru
Tak usahlah aku bertanya sana-sini
Gempa dan tsunami
Ataukah karena azab Illahi

hed/2006

Tuesday, March 21, 2006

SATU TAMBAH SATU SUDAH PASTI DUA


Para selebritis tertawa dalam setiap membawakan acaranya
tidak butuh lagi undang-undang pornoaksi dan pornograpi katanya
dan stasiun-stasiun TV pun berlomba menyiarkannya
masyarakat belum bisa menerima
alasan pragmatis yang bikin seorang idealis membeliakkan mata

Para kiai lebih senang tinggal di pesantrennya
karena ikut bicara seperti sok alim katanya
sholat lima waktu tak ada henti-hentinya
ketika para kiai ada di gedung DPR tidak sholat pun tidak apa-apa

Kalau para politisi atau eksekutif atau lembaga peradilan ditanya
apakah fungsi agama bagi mereka
kalau mereka jujur menjawabnya
mayoritas kuping pasti merah karenanya

Lho.... kok bisa?
bisa saja
karena kita masih ada di dunia
dimana idealisme dan realita sering berada di ruang berbeda

Lho...apakah pikiran dan tindakan orang-orang bijak tidak sama?
kalau itu jangan ditanya
justru karena bijak mereka tidak bicara apa adanya
atau bisa juga takut kehilangan muka dan pengikut setia

Kau pikir kenapa orang-orang bijak tidak bisa bicara ketika mereka tahu
bahwa orang-orang degil diperbolehkan menguasai dunia…?
Kau pikir kenapa orang-orang jujur lebih memilih mati karena lapar
dan terhujat di sebuah lingkaran turun-temurun kekuasaan …?
Kau pikir kenapa rakyat jelata harus bertanya-tanya,
walau bertanya jua nyatanya tak ada orang yang mau mendengarnya …?

Waduh… waduh…
kenapa menanyakan itu pada saya, malam ini saja,
saya tak tahu harus makan apa biarlah orang berpeci yang ada
di gedung DPR itu yang menjawabnya
biarlah orang-orang yang pakai fasilitas rakyat yang memikirkannya
biarlah para kiai yang siang malam sholat yang mendoakannya
saya hanya orang biasa bagi saya satu tambah satu pasti dua.

Hed2006

Friday, March 17, 2006

IBUNDA


Ibunda # 1

Ibunda, ringkih dan renta karena ditelan usia, namun tampak tegar dan bahagia. Ikhlas memancarkan selaksa cinta penuh makna yang membias dari guratan keriput di wajah. Tiada yang berubah sejak saat dalam buaian, hingga sekarang mahkota putih tampak anggun menghiasinya. Dekapannya pun tak berubah, luruh memberikan kenyamanan dan kehangatan.

Ibunda, jemari itu memang tak lagi lentik, namun selalu fasih menyulam kata pinta, membalur sekujur tubuh dengan doa-doa. Kaki tampak payah, tak mampu menopang tubuhnya. Telapak tempat surga itu pun penuh goresan, simbol perjuangan menapak sulitnya kehidupan.

Ibunda, izinkanlah anak-cucunda meraih tempat surga itu, Ibunda adalah sebuah anugerah terindah yang dimiliki semua anak-cucunda, sejak dalam rahim, betapa cinta itu tak putus-putusnya mengalirkan kasih yang tak bertepi.

Ibunda, anak-cucunda selalu rindu akan kasih bunda. Semoga bunda senantiasa ada dalam lindunganNYA.

Ibunda # 2

Ibunda, demi anak-anakmu jemarimu tak pernah henti dengan menyulam kata pinta, membalur sekujur tubuh dengan doa-doa.
Tubuhmu tak menghitung waktu, siang atau malam terus merajut cinta
jua demi anak-anakmu
Hingga akhirnya perjuanganmu usai tak mampu melawan sulitnya menahan rasa sakitmu.

Ibunda, terkulai lemah menahan derita, namun tampak tegar dan bahagia.
Ikhlas memancarkan selaksa cinta penuh makna yang membias di wajah.
Tiada yang berubah sejak saat engkau bugar, hingga takdir itu memisahkannya
Walau engkau tak lagi bersama, namun hadirmu abadi dalam sanubari
memberikan kenyamanan dan kehangatan.

Ibunda, surgaku ada dalam telapak kakimu
Izinkanlah anak-cucunda meraih tempat surga itu,
Ibunda adalah sebuah anugerah terindah yang dimiliki semua anak-cucunda, sejak dalam rahim, betapa cinta itu tak putus-putusnya mengalirkan kasih yang tak bertepi.

Ibunda, anak-cucunda selalu rindu akan kasih bunda.
Semoga bunda senantiasa ada dalam lindunganNYA.

I B U,


TIBA-TIBA SAJA AKU RINDU MENYEBUT NAMAMU
DAN TANPA TERASA SENGAJA TERUCAP ITU DARI MULUTKU
WALAU LIRIH, TAPI MANIS DAN MASIH
MEMBAUR DENGAN RASA KASIH,
TULUS

TIBA-TIBA SAJA AKU SELALU INGIN MEMANGGILMU
PADA SETIAP TIDURKU, PAGI DAN MALAM
MENYAPAMU DALAM SETIAP DOAKU

IBU, SAAT KESENDIRIAN ITU DATANG MENYERBU
DAN MENGUASAIKU
KALUT,
RESAH RASA HATIKU
KUTAHU ITU BAGIAN YANG HARUS KUTERIMA
LEBURKAN DOSAKU
LUPAKAN SAAT-SAAT AKU ALPA BERSAMAMU
PERKENANKAN AKU KINI MERAIH KASIHMU
DAN MASUK DALAM DEKAPMU

TINGGALAH SERTAKU
DAN HADIRLAH DALAM MIMPIKU
AGAR AKU DAPAT SELALU BERSAMAMU

MAAFKAN AKU, IBU

ANAKMU,

/hed 1984

Hadiah Dari Suatu Kepedulian


Oleh: Hedi Rachdiana
Diceritakan kembali dari dongengan)

Alkisah hiduplah di suatu desa seorang petani yang makmur. Ia juga seorang yang sangat dermawan dan dihormati di desanya, keuletan bertaninya menjadi contoh penduduk desa bahkan terkenal sampai ke desa-desa lainnya. Dari musim-kemusim si petani itu selalu mendapatkan panen yang melimpah.

Namun, pada suatu ketika, secara mengejutkan datanglah musibah karena tikus-tikus menyerang sawah dan ladang-ladang para petani, bahkan merambah sampai ke sawah dan ladang-ladang para penduduk desa di sekitarnya.

Sang petani dan para penduduk desa serentak mencari gagasan untuk mengatasi wabah tikus ini agar tidak berlarut-larut, setidaknya untuk mencegah agar tidak menyebabkan kegagalan panen pada musim panen berikutnya. Dari gagasan yang disarankan ke penduduk desa, maka diputuskanlah agar masing-masing petani membuat perangkap tikus.

Sementara setiap hari penduduk desa disibukkan oleh pekerjaannya membuat perangkap tikus dan memasangnya di sawah dan ladang-ladang, maka didengarlah beritanya oleh para tikus, sehingga membuat geger di kalangan para tikus karena hal itu akan mengancam keselamatannya.

Untuk itu, segeralah para tikus mengutus tetuanya agar diatur rembugan antar para tikus, maka bicaralah tetua tikus itu kepada para tikus lainnya; “Wahai segenap para tikus, ketahuilah bahwa kelangsungan hidup kita saat ini sedang terancam, karena para petani sedang memasang perangkap-perangkap untuk kita semua. Oleh karena itu, barang siapa dapat memberikan jalan keluar dari kesulitan kita ini, maka aku tetua kalian akan memberikan hadiah”.

Tiba-tiba muncullah seekor tikus cerdik memberikan gagasan, ia minta kepada tetua agar terlebih dulu minta saran kepada binatang-binatang lainnya sebagai bentuk solidaritas kebinatangan.

Dari usul yang diajukan tikus cerdik itu, maka diputuskanlah oleh tetua tikus pertama-tama untuk minta pendapatnya kepada ayam, karena ia berpikir para ayamlah yang pertama kali sering kena perangkap-perangkap yang dilakukan oleh para petani, mereka berharap ada kepedulian bersama merasakan senasib dan sepenanggungan.

Lalu, menghadaplah tetua tikus beserta rombongannya kepada para ayam menyampaikan maksud dan tujuannya,
“Wahai saudara sebinatang!, maksud kedatangan kami tidak lain dan tidak bukan mewakili saudara-saudara kami lainnya untuk menyampaikan permohonan, kiranya tuan-tuan bisa membantu kami mengatasi perangkap-perangkap yang dilakukan oleh para petani, demikian… kiranya tuan-tuan sudi membantu kami!”, tetua tikus menyampaikan maksudnya.

Kok..kok..tekok, serempak dengan angkuhnya para ayam itu menjawab “Hai…tikus!… perangkap-perangkap itu kan dibuat penduduk desa buat kalian!, kenapa minta tolong ke kami!?, atasi saja dengan cara kalian”. Para ayam bersikap tak acuh.

Dengan tangan hampa para tikus itu kembali dan segera mencari solusi lain. Dan dilakukanlah rembugan lagi, dimana hasilnya segera agar minta tolong ke binatang lainnya, yang juga seringkali terkena dampak perangkap para petani, dengan harapan ada kepedulian senasib dan sepenanggungan.

“Maaf tetua… bagaimana kalau kita minta tolong ke kambing!?”, sang tikus yang cerdik menyampaikan gagasan ke tetuanya. “Baiklah… akan kita coba!”, tetua tikus dengan arifnya menerima gagasan itu.

Dengan tergesa-gesa tetua tikus dan rombongannya pergi untuk menemuai para kambing, maka disampaikanlah apa yang menjadi maksud dan tujuannya. “Wahai …para kambing yang baik, maksud kedatangan kami untuk minta tolong bagaimana caranya mengatasi perangkap yang dibuat para petani itu?”.

Namun apa yang terjadi!….para tikus mendapatkan kenyataan yang sama seperti ketika menghadap para ayam sebelumnya, bahkan para tikus mendapatkan cemoohan. Para kambing berdalih bahwa tidak ada kepentingan dengan perangkap-perangkap yang dibuat para petani yang sebenarnya dibuat untuk para tikus itu.

“Mbek…lha…lha… kalian salah alamat, kalian mestinya tidak datang ke kami, kami tidak ada kepentingan dengan perangkap-perangkap itu!”
“Namun…bukankah kalian juga sering terkena perangkap-perangkap yang dibuat para petani itu!?”. para tikus penasaran.
“Mbek…mbek… lebih baik kalian minta tolong saja kepada binatang yang lain, mbek… mbek…” para kambing serentak angkat bicara kepada para tikus.

Saat itu hampir saja rombongan para tikus itu putus asa, kalau saja tidak mengingat bahwa mereka juga mengemban tugas dari para tikus lainnya untuk menyampaikan amanah kepada para kambing itu. Mereka merasa telah gagal untuk kedua-kalinya, gagal mengemban misinya padahal mereka begitu dipercaya. Di atas pundaknyalah mereka menggantungkan harapan keselamatannya.

“Kita tidak boleh putus asa!”. Bagaimanapun kita ini orang-orang eh…(salah menyebut dirinya) tikus-tikus yang dipercaya oleh semua para tikus, kita harus mencoba lagi!, kita harus bertekad!”. Tetua tikus memberi semangat kepada rombongannya.

Berkumpullah kembali para tikus, seekor tikus yang cerdik dengan hati-hati karena takut gagasannya tidak didengar lagi karena gagasannya sebelumnya selalu gagal bicara; “Maaf tetua… bagaimana kalau kita minta tolong untuk yang terakhir kalinya ke sapi!?”. “Baiklah… akan kita coba!”, tetua tikus dengan sabar dan arif menerima gagasan sang tikus cerdik itu.

Bergegas mereka pergi menyampaikan harapannya ke sapi, siapa tahu sang sapi dengan badannya yang besar, gagah dan kuat bisa membantu kesulitan yang dihadapi para tikus.

Rupanya badan yang besar dan gagah itu cuman tampak penampilannya saja, karena iapun tidak peduli dengan kesulitan yang dihadapi para tikus. Bahkan karena ia merasa badannya besar dan kuat ia berkeyakinanan tidak mungkin akan terkena perangkap-perangkap tikus itu.

“Hmm… aku sudah tahu maksud kedatanganmu wahai para tikus, kalian juga sebelumnya telah datang ke ayam dan kambing, bukan?!, hmm…hmm”. Sang sapi bicara ke para tikus tanpa menolehnya.

Sang sapi merasa tikus-tikus itu bukanlah apa-apanya, bahkan para sapi merasa bahwa mereka adalah kesayangan para petani bahkan para penduduk desa umumnya. “Tidak mungkin para petani menyakitinya. Bukankah para petani membutuhkan tenaganya dan penduduk desa umumnya membutuhkan susu para sapi?”. Mereka meyakinkah dirinya.

Untuk ketigakalinya para tikus mengalami kegagalan. Mereka merasa inilah nasib buruknya. Tak ada jalan lain baginya, kecuali pasrah, karena segala usaha telah dilakukannya.

Pada suatu hari, berduyun-duyunlah para petani memeriksa perangkap-perangkap tikus yang telah dipasangnya, dipimpin langsung oleh sang petani itu. Dan ia pula yang pertama memeriksa perangkapnya.

Namun, apa yang terjadi, ketika tangan sang petani itu mengangkat perangkapnya, tiba-tiba sang petani menjerit kesakitan “tolong…! tolong…!, tanganku… tanganku…”.

Serentak para petani lainnya bergegas menghampiri sang petani itu dan segera memeriksa gerangan apa yang terjadi. Rupanya ketika sang petani mengangkat perangkapnya, tangannya secara tiba-tiba dipatuk ular berbisa sehingga dengan cepat tangannya membengkak dan membiru.

Para petani menghentikan memeriksa perangkap-perangkapnya untuk segera menolong sang petani itu, dan membawa ke rumahnya untuk segera mengobatinya. Dan gemparlah para petani dan penduduk desa karena sang petani yang menjadi panutannya terkena musibah dipatuk ular berbisa dan tampaknya kondisinya cukup kritis.

Selama dalam pengobatan tak henti-hentinya ia didatangi para penduduk desa untuk menjenguknya, mereka selalu mendoakan agar sang petani segera sembuh dan sehat kembali. Maklum bahwa sang petani juga sangat perhatian terhadap sesamanya. Mereka berharap sang petani dapat meneruskan perjuangannya membasmi para tikus yang semakin meraja-lela, bahkan terdengar ada sebagian penduduk yang sudah menderita kelaparan karenanya.

Bersyukur sang petani itu akhirnya sembuh. Lalu diumumkanlah oleh para tetangganya bahwa sang petani sudah sembuh. Dan berduyun-duyunlah orang-orang mendatangi rumah sang petani sekedar untuk memberi ucapan selamat. Mereka sangat bersyukur sang petani selamat dan sehat kembali.

Tak henti-hentinya setiap hari rumah sang petani itu ramai dikunjungi oleh orang-orang disekitarnya, karena sangat dihormati dan dikenal maka penduduk desa tetangganyapun berdatangan untuk sekedar mengucapkan selamat atas keselamatan dan kesehatan sang petani itu.

Sang petani adalah seorang dermawan, ia seorang yang sangat baik, ia tidak mau mengecewakan tamu-tamunya, ia ingin menghormati tamu-tamunya sekaligus sebagai ucapan syukur karena ia juga bisa selamat atas syariat pertolongan sahabat-sahabat petaninya.

Untuk itu diadakanlah sambutan, hari pertama penyambutan tamu-tamunya, atas kesepakatan dengan istrinya sang petani memotong banyak ayam sebagai jamuan tamu-tamunya, maka dipotonglah ayam-ayam yang diketahui ayam-ayam itu adalah ayam-ayam yang pernah diminta tolong oleh para tikus beberapa waktu yang lalu. Dan disantaplah daging ayam beramai-ramai oleh para petani dan para penduduk desa lainnya menjadi santapan yang lezat.

Hari kedua, karena tamu-tamunya semakin banyak saja dan pemotongan ayam dirasakan belum cukup, maka dipotonglah kambing. Konon, kambing-kambing itu diketahui adalah kambing-kambing yang pernah diminta tolong oleh para tikus. Dan kambing-kambing itupun satu-persatu dipotong untuk penyambutan sebagai rasa syukurnya.

Hari ketiga, sebagai puncak acara maka para sahabat sang petani dan para petani lainnya secara gotong royong menyumbang agar dilakukan pemotongan sapi, maka dipotonglah sapi dan sapi-sapi itu pun konon adalah sapi-sapi yang juga pernah diminta tolong oleh para tikus itu. Sapi-sapi itupun menjadi santapan penduduk desa, bahkan sebagian dibuat dendeng oleh penduduk desa itu.

Maka binasalah sang ayam, sang kambing, maupun sang sapi-sapi itu, sementara tikus-tikus yang peduli mengajak keselamatan kepada binatang-binatang lainnya itu selamat, dan merekapun sedang berpesta menikmati sisa tulang-tulang ayam, tulang-tulang kambing serta tulang-tulang sapi sisa makanan para petani dan penduduk desa itu.

Apa Daya


Terlampau banyak problem kehidupan yang menjerat,
Kemiskinan bukan lagi monopoli di kolong-kolong jembatan,
Sekarang telah merambah ke sebagian besar masyarakat kita,
Suka atau tidak suka esok atau lusa siapa tahu giliran kita

Kemiskinan mestinya adalah sebuah produk ketololan,
Orang bilang negara kaya minyak seolah dapat kutukan,
Negara kita contohnya, provinsi kaya minyak justru paling melarat,
Jika demikian entah apa yang ada dalam benak kita

Kita nyatanya bukan cuma miskin harta,
Tapi kita juga miskin ilmu dasar pikiran lurus dalam hal filsafat dan logika,
Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal menjadi manusia,
Karena tidak diajarkan beretika dan tidak diajar dasar ilmu hakekat kehidupan

Masa depan kita jadi remang-remang,
Kita ingin marah, tapi marah sama siapa,
Kita kesal terhadap masa depan, tapi harus mengadu sama siapa,
Akankah akhirnya… berbuah masa bodoh dan santai saja

Renungan


Saatnya aku mengajukan sebuah pertanyaan
Bukankah aku dimulai dari tiada
Atas kehendakNya aku menjadi ada
dan, entah esok atau lusa kembali menjadi tiada
Terbayang masa-masa yang lalu
Ketika semuanya menjadi terasa indah
Memang tidak semua masa lalu dirasakan sama
kadang ceria, walau ada jua yang kecewa
Akhirnya, tak terasa perjalanan hidup ini begitu cepat
dan, dalam perjalanannya pernahkah aku bertanya:
Kenapa perjalanan hidup ini rasanya baru sesaat saja
hingga aku telah menjadi dewasa dan tua
atau, mestinya aku bertanya:
Mungkinkah hidup yang aku jalani ini hanyalah proses belaka
Sebuah proses yang tak ada bedanya dengan mahluk lainnya
Apalah artinya aku ini menjadi manusia
Bukankah pepohonan dan rumputan atau binatang melatapun
mereka juga sama menjalankan proses
Proses dari tiada, menjadi ada
dan akhirnya juga menjadi kembali tiada
Sesungguhnya, apa yang telah kulakukan
Gerangan apa jika aku ini sebagai manusia
Akankah hidup sekedar makan tidur dan berketurunan
Bukankah aku adalah manusia
yang mestinya semua terukur dengan waktu
dan, waktu adalah sesuatu yang pasti
Akankah aku mampu mewarnai perjalanan hidup ini
Meskikah masa laluku adalah sejarah yang tak pernah kupahami
Dan, akankah langkah yang mesti kuraih jua merupakan misteri