Thursday, August 30, 2007

Hi.. hi...


wahai para wanita engkau selalu dengungkan emansipasi
sesungguhnya kami para lelaki
tak pernah ijinkan engkau melakukan pekerjaan kami
yang memang mestinya itu dilakukan kaum lelaki
selain bersenergi
untuk melakukan apa yang kami para kaum lelaki
tak mampu mensiasati
apapun yang bisa dilakukan oleh para kaum lelaki
dan... lahan tempat kami mencari rezeki
jua sebagian telah engkau renggut dengan mengatasnamakan emansipasi
kini ketika semuanya tak lagi mengabaikan fitrah
Hi.. hi... engkau mengeluh seakan derita tak tertanggung lagi
mencari empati kaum lelaki adalah suatu yang kontradiksi
mungkin kembali ke fitrah tuk menjadi ibu sejati adalah solusi

Cerita Seorang Bapak dengan Anaknya


Oleh: Hedi R

"Aku punya pengalaman lucu, Pak," kata anak sulung saya suatu hari.
"Lucu apanya, nak?" .
"Ini pengalaman batin." Anak saya menimpali.
"Lha iya, apa? Pengalaman batin koq dibilang lucu”, desak saya.

Alkisah, ia pun bercerita tentang seekor anjing kecil yang terkaing-kaing di bawah pohon ketika ia sedang bermain-main di halaman rumah tetangganya. Anjing itu, ketika didekatinya, ternyata luka parah di bagian kaki depannya. Makhluk itu tak mampu berjalan. Anak saya pun membopong dan mengobatinya.

Tak berapa lama, benar Anjing itu sembuh. “Dan aku terkejut Pak”, dia melanjutkan ceritanya, “karena ketika aku mau berangkat sekolah, hewan itu menyambutnya di jalan kecil di dekat pohon tempat ia beberapa hari lalu ditemukan. Dan bukan cuma itu.
Dia nganterin aku sampai di tepi jalan raya tempat aku menunggu kendaraan. Dan ketika aku pulang, dia pun menyambutku. Begitu setiap hari. Subhanallah Pak, dia tahu membalas budi."

"Anjing memang hewan paling setia", anak saya terus bercerita dan tampak diraut wajahnya penuh kekagumam.

Rupanya, batin anak saya tersentuh. Orang tua sering tak tahu, kapan batin anaknya bertambah matang. Sebagai seorang ayah, saya merasa berbahagia mempunyai anak yang mulai dapat membaca alam dan memaknai simbol-simbol halus yang tersirat dalam hidupnya.

Diam-diam anjing itu mengajarinya ilmu filsafat kehidupan yang belum tentu diajarkan guru di sekolahnya. Dan pembicaraan selanjutnya kami membicarakan terus mengenai keadaan pertemanan, tentang tolong-menolong, tentang terima kasih tentang loyalitas, dan lain-lain sekitar filosofi kehidupan. Kami mencoba merumuskan nilai-nilai baru untuk orientasi kehidupan hakiki yang mestinya kita harus jalani.

Sering saya berpikir, mungkin tiap pemimpin mendambakan betapa enaknya jika anak buahnya mempunyai jiwa anjing, yang paham akan arti terima kasih dan loyalitas.

“Betapa enaknya hidup penuh loyalitas seperti anjing itu”, saya melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong lamunan, "Sayang ini cuman sekedar impian muluk", saya bergumam.

"Emangnya kenapa, Pak?", anak saya menimpali keheranan.

Saya pun menjelaskan, “memang di kantor-kantor dalam birokrasi apa pun, dan di mana pun loyalitas tak dikenal. Orang, pegawai, karyawan, pada dasarnya cuma loyal pada duit, dan pada cita-citanya sendiri. Tiap orang sibuk berjuang bagi dirinya sendiri.
Tentu saja ada skenario terselubung, ada kedok, pemanis kata, hiasan bibir, atau gincu-yang disebut ideologi yang menutup secara indah, dan memberi pengesahan moral/spiritual terhadap cita-cita pribadinya agar sepak terjangnya tak kelihatan telanjang.

"Apa keadaan kita seburuk itu?" tanyanya.
"Dalam beberapa hal bahkan lebih buruk."
"Apa bapak kecewa, atau putus asa mengharap orang-orang loyal di kantor?"
"Kecewa ya, tapi putus asa tidak."

“Lagi pula di kantor orang sudah tahu sejak dulu, bahwa loyalitas Bapak tak punya arti apapun bagi kepentingan atasan. Bapak harus loyal pada nilai. Maka, dikotomi yang mengkotak-kotakkan orang menjadi "orangnya si ini", "orangnya si itu" jelas bukan orientasi hidup yang sesuai dengan ideologi Bapak”.

Bagi Bapak, loyal pada nilai itu artinya orang cuma loyal pada kantor, pada tujuan bersama. Orientasi ini harus diperjuangkan dengan biaya sangat mahal. Bapak kira inilah kesejatian hidup di dalam semua organisasi.

"Apa ada orangnya yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu?”
“Dan jika mungkin ada, apakah orang-orang sekitarnya menyambut gagasan seperti itu?”

“Bapak tidak tahu!, wong bapakmu ini wong cilik koq alias “wong deso”. Namun, pada awalnya, pada tataran ideal terutama sama-sama di kalangan wong cilik, bukan cuma menyambut tapi bahkan ada yang cepat memuji, bahwa gagasan ini demokratis bernuansa spritual, dan bahwa baru dalam masa seperti itulah suatu pelaku organisasi diajari orientasi yang benar, dan diberi otonomi pada masing-masing pelakunya."

“Jika ada orang yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu…!?,”
“Dia pasti orang baik ya pak!?, kata anak saya.

"Mungkin. Tapi mungkin pula penjilat."

"Loh koq begitu? Apa karena berkaitan dengan ketulusan?"

"Tulus itu urusan hati”. Dan menjilat urusan mulut dan lidah”, kita tahu bahwa “lidah orang bilang-tak bertulang."

"Siapa tahu orang yang loyal seperti itu beneran."

“Memang tak mustahil di suatu kantor ada loyalitas tulen. Tapi loyalitas tak bisa ditentukan buru-buru. Kalau orang tampak loyal hanya semasa aktif, saat menjabat, bandit pun bisa lebih dari itu. Maka, tunggulah sampai masa pensiun. Kalau setelah pensiun ia memusuhi atasan, memfitnah, atau menipu, tahulah kita bagaimana status batin manusia jenis ini”
.
“Kita sering lupa, Tuhan menjadikan manusia dalam seindah-indahnya kejadian. Tapi, Tuhan pun maha kuasa bila kita culas, busuk, dan ingkar bagiNYA mudah mengubah status kita menjadi lebih hina dari hewan melata.
Sering saya termangu-mangu membaca firman itu. Dan sering pula saya heran, roda hidup berputar cepat, dan anak saya, tiba-tiba sudah mahasiswa.

"Nak, renungkan terus filsafat anjingmu itu baik-baik. Ia memberi kita renungan, bahwa bila manusia ingin menjadi manusia sejati yang tahu membalas budi, dan memiliki loyalitas maka ia harus gigih belajar dari sesama, juga dari anjing.”

(HED: Cerita ini diilhami dari cerita manusia dan anjing karya MS)

Bumi Semakin Panas


Oleh: Hedi Rachdiana

Bumi semakin panas, pemanasan global, itulah isu yang kita rasakan sekarang ini, dan isu ini sampai kapankah berakhir?. Nyatanya hari demi hari yang dirasakan memang bumi semakin panas. Jam 8 pagi dirasakan panasnya sama dengan jam 12 siang masa dekade 20 tahunan ke belakang. Bahkan di Amerika sana telah disimulasikan oleh komputer, bagaimana jadinya jika pemanasan global ini mampu mencairkan kutub atau benua Antartika, hasilnya permukaan laut akan meninggi sampai 60 meter tingginya, bukankah jika terjadi maka bumi ini menjadi kiamat?.

Bumi semakin panas, persaingan hidup semakin keras. Bahkan setiap orang bak ada di dunia satwa hutan belantara dimana hukum rimba berlaku, si kuat memangsa si lemah demi sekedar mengenyangkan perutnya. Berjuta problema kehidupan membayangi silih berganti, terkadang problem yang satu belum tersolusi, datang pula problem lainnya, hal ini terus bertumpuk dan tak pernah berujung dalam penyelesaian.

Bumi semakin panas, eksploitasi alam terus berlangsung, pemerkosaan hutan, cuaca tak menentu, petani tidak bisa lagi melakukan jadwal tanamnya seperti dulu, banjir, longsor ketika musin hujan, atau kekeringan ketika musim kemarau. Sementara itu, di setiap jalanan atau gang sempit, becek kumuh berjubel ratusan orang dewasa dan anak-anak memenuhi jalanan bak kelinci dikandangnya. Mereka melakukan aktivitas seharian tanpa mengenal waktu berbaur satu sama lain tanpa mengindahkan norma-norma kaedah dalam pergaulannya. Mereka mau jadi apa nantinya?
Benar atau salah, semua permasalahan tersebut tidaklah terlepas dari terlalu banyaknya populasi manusia di bumi ini, lebih-lebih sebagian besar dari mereka itu secara moral tidak berkualitas. Di lain pihak, ada sekelompok orang yang masih menganut paham pepatah “banyak anak banyak rejeki”, sehingga tak mustahil pada zaman yang sudah maju ini masih ada dalam sebuah keluarga dengan jumlah anak belasan orang terutama di pedesaan, tapi tidak sedikit pemahaman “banyak anak banyak rejeki” itu juga dianut oleh mereka yang notabene adalah orang-orang intelek.

Apakah faktor terlalu banyaknya manusia ini berpengaruh terhadap ekosistem alam? Menurut berita yang bersumber dari Kompas Cybermedia, menyebutkan bahwa “Manusia telah merusak Bumi dengan kecepatan yang tidak diduga sebelumnya. Hal ini meningkatkan resiko kerusakan alam yang bisa mengakibatkan munculnya penyakit, kekeringan, atau zona mati di lautan”.

Lebih lanjut Kompas menyebutkan bahwa; “Penelitian yang melibatkan 1.360 ahli dari 95 negara ini menyebutkan naiknya populasi manusia selama 50 tahun terakhir telah meningkatkan pencemaran dan eksploitasi berlebih terhadap dua pertiga sistem ekologi yang menjadi tumpuan kehidupan.

Aktivitas manusia telah merusakkan fungsi alami Bumi dan kemampuan eskosistemnya sehingga barangkali tidak akan ada yang tersisa bagi generasi mendatang. Disebutkan, sepuluh hingga 30 persen mamalia, burung, dan jenis-jenis amfibi telah terancam punah. Ini adalah tanda menurunnya dukungan bagi kehidupan di planet kita.

Selama 50 tahun terakhir, manusia telah mengubah ekosistem secara lebih cepat dan meluas dibanding waktu lain dalam sejarah. Pertumbuhan permintaan makanan, air, kayu, serta bahan bakar belum pernah sebanyak jangka waktu itu. Ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman kehidupan di Bumi”.

Lebih lanjut Kompas Cybermedia menyebutkan, bahwa “dicontohkan, sejak tahun 1945, semakin banyak tanah yang berubah menjadi lahan pertanian atau pemukiman dibandingkan sepanjang abad 18 dan 19”.

Apakah keprihatinan ke depan itu tidak berkepanjangan?. Tengoklah statistik kependudukan yang menyatakan bahwa pada tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 9,2 miliar dan penduduk Indonesia 280 juta. Padahal sebagaimana di lansir Kompas Cybermedia tersebut bahwa terlalu banyaknya penduduk itu selain berpengaruh secara revolusioner terhadap faktor ekosistem juga akan mempengaruhi langsung sektor ekonomi dan sosial.

Untuk itu, tidak ada salahnya kita merenung sejenak untuk menyikapi ayat berikut: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS 13:11).

Kita tidak bermuluk-muluk ingin merubah dunia, tapi percayalah kita hidup syarat dengan permasalahan ini justru karena kita hidup di dunia, mau atau tidak kita ada didalamnya.

Tanpa Judul


Ini tentang Kita
Ingin tak bertanya, kenapa
Mengapa mesti bertanya
Kulihat ke kiri dan ke kanan,
ke belakang jua ke depan
Ada sesuatu yang menggugah rasa
Haruskan terpendam rasa tuk bertanya
Walau tlah bertanya, jua
Nyatanya bertanya tak kunjung berbuah asa
Ingin ku tak bertanya
Lalu tak bertanya, memangnya kita kenapa??