Wednesday, May 13, 2009

PUISI UNGKAPAN JIWA


Oleh Hedi Rachdiana

Ungkapan ini kutulis dengan bahasa yang sangat sederhana, karenanya barangkali untaian katanya pun tak mencerminkan ungkapan seorang penyair dalam menyampaikan perasaan jiwanya. Aku cuma berharap ungkapannya mudah dicerna, juga punya makna, sebab hakekatnya ungkapan ini adalah sebuah cermin dari inginnya mengungkap perasaan seorang penulisnya.

Aku adalah sebutir debu, sebutir debu yang bercita-cita bahwa bintang-bintang di langit bisa digapainya. Namun apa daya, aku adalah sebutir debu dari sekian juta gumpalan-gumpalan debu yang bertebaran di alam semesta yang tidak ada daya upaya. Debu itu pun terseok-seok terbawa angin yang menghembusnya.

Aku bicara dengan hati, berdoa dengan keluguanku; Tuhan... dapatkah Engkau tempatkan aku di tempatMu, di tempat yang Engkau sebut dengan surga dimana penuh dengan kesejukan dan kedamaian, dimana Engkau selalu melimpahkan keberkahannya..??

Di ufuk timur matahari selalu terbit dan rerumputanpun tak pernah berhenti tumbuh, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaanku bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Kokok ayam tiap pagi, kemudian aku bangun dan seakan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siang berganti malam, dan malam pun berganti siang, tapi aku hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, aku menghabiskan waktu dan tenagaku untuk mengulangi keluguanku yang sama, meskipun aku mengemasnya dengan pernik-pernik yang orang menyebutnya ilmu pengetahuan.

Aih... sebagaimana para bijak katakan; “jangan kamu cuma pandai meminta, tapi kamu harus berusaha!”, aku pun melakukan apa yang harusnya aku lakukan. Karenanya, seiring mentari yang tak henti-hentinya memberi kehangatan para insani surgawi, atau walau dalam hujan dan beceknya jalanan tak menggemingkan semangatku untuk menuju bersemayamnya rejeki itu. Aku telah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan.

Aku telah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui shalat, dan perenungan, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah aku datangi berpuluh bahkan mungkin beratus buku yang orang menyebutnya ilmu pengetahuan bagaimana mengais rejeki itu, namun belum ada satupun yang sanggup memberi jawabnya. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali aku merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.

"Ya, Allah", aku berseru pada setiap saat menjelang tidurku, "kapankah aku bisa menunaikan nadharku ini?, bukankah aku telah bernadhar, jika permohonanku terkabulkan aku akan begini, dan begitu!”

Bisa dipastikan Tuhan mendengar doaku, tetapi siapa yang menjamin bahwa nadharku bakal aku laksanakan. Bukankah aku seringkali lalai? Apa yang bisa aku jawab, ketika Tuhan berargumentasi begini : ”Bagaimana mungkin Kukabulkan permintaanmu, sedangkan kamu belum mengenalKu, kamu adalah setitik debu yang tidak tahu apa-apa tentangKu!”, bukankah untuk mendapatkan rejeki, engkau harus memiliki pengalaman bagaimana mencari rejeki?".

Aku bingung, kenapa mahluk Tuhan yang namanya manusia harus hidup berlimpah rejeki, agar ia bisa berzakat, berhaji, menyantuni pakir miskin, sementara untuk mengais rejeki bagi dirinya sendiri bagai teka-teki!. Pada mulanya ini bukanlah merupakan persoalan baginya. Tapi ketika ia dituntut tanggung jawab lainnya, yaitu memberi nafkah keluarga, menyekolahkan anak-anaknya, belum lagi biaya rumah sakitnya jika ia sakit, atau kelurganya yang sakit!.

"Duhai Tuhan, pemilik segala rejeki", aku bergumam dengan nada penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga enggan untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupanku, tolonglah Engkau kabulkan permohonanku sekali ini saja, sentuhlah jiwaku, beri sedikit pengetahuan atas pertanyaanku ini: “Tuhan, apa hakekatnya Engkau ciptakan aku, bukankah aku tak pandai mewarnai kehidupan ini?. Bukankah dunia tak berubah warna Engkau ciptakan aku atau tidak!”

Seakan telah berabad pertanyaan ini bergelayut di kepalaku, membuat aku semakin kelihatan menjadi orang tolol, di tengah orang-orang yang merasa dirinya pintar. Namun, mestinya aku bersikukuh dalam pendirianku bahwa mereka sebetulnya bukanlah orang-orang pintar, karena jalan hidup setiap orang berbeda jadinya. Seseorang boleh miskin harta, tapi mestinya tidak boleh miskin ilmu filsafat dan logika, agar manusia mengerti hakekat dirinya.

Hed/2009

Ibuku Sayang


Oleh: Hedi Rachdiana

Aku merasa tak berdaya, segenap badanku terasa luluh lantah, ketika dokter mengabarkan kepada keluarga hasil diagnosa bahwa kemungkinan usia ibuku tak lebih dari 2 bulan saja. Dokter pada waktu itu memvonis ibuku kanker tulang.

Kejadian itu memang telah berlalu, tepatnya kejadian itu berlangsung tahun 1998, tapi jujur saja sampai saat ini pikiranku seringkali menerawang jauh ke belakang, kepada saat-sat aku sering bersamanya. Terutama aku sampai saat ini masih bisa membayangkan centi demi centi raut wajah ibu bahkan dari ujung rambut sampai ujung telapaknyapun aku masih bisa menggambarkan secara detail tekstur keriput ketuaannya.

Ibuku adalah profil seorang ibu yang boleh dibilang sempurna dimata anak-anaknya, bagaimana tidak!, beliau mampu mengasuh 10 orang anak tanpa seorangpun dari anak-anaknya yang merasakan omelannya, apalagi cubitan, atau apapun sebagai pelampiasan kemarahannya walau anak-anaknya 7 adalah laki-laki yang pada nakal. Dan aku sendiri anak ke 8. Aku adalah saksi bahwa beliau tidak pernah sekalipun menggunakan mulut ataupun tangannya ketika beliau memarahi anaknya, bahkan mungkin memang beliau tak punya hati untuk memarahi siapapun, kecuali hanya dengan kesabaranya setiap persolan beliau selesaikan.

Aku tidak tahu, apakah aku terlalu sensitif atau bagaimana. “Tuhan aku mohon untuk ibuku..jangan pernah sakit!“ Itulah perasaan yang selalu kutuntut saat berdoa untuk ibuku. Jika ibuku sakit, maka yang terbayang adalah sesuatu yang terburuk yang bisa aku bayangkan. Aku tidak mau kehilangan, dari sosok seorang yang paling kucintai, bahkan jika boleh aku menawar kepada Sang Pemilik Hidup, aku minta akulah yang lebih dulu dipanggilnya. Itulah yang kurasakan sampai aku menjelang dewasa dan berumah tangga. Memang semenjak berumah tangga walau tak sedikitpun mengurangi cintaku kepada ibu, cintaku merasa sudah berbagi dengan khususnya anak-anakku.

Suatu saat... percisnya aku sudah lupa, tapi moment-nya masih bisa aku ingat, walau sepenggal cerita tak berarti bagi orang lain tapi bagaimanapun kejadian ini kuingat seumur hidupku. Waktu itu aku masih di SMP, ibu sedang sakit keras. Beberapa hari ibu tak bangun dari tempat tidurnya. Ibu terbatuk-batuk dan aku bingung harus berbuat apa. Untung saudara tertuaku datang dari Jakarta, dan saat itu aku diberi uang untuk membeli obat. Tiba-tiba aku ambil sepedaku dan kugayuh ke kota yang jaraknya 6 km, maksudnya aku mau ke apotek mencari obat. Maklumlah rumah keluargaku ada di sebuah kampung yang jauh dari fasilitas saat itu. Akhirnya kudapatkan obat batuk yang sebenarnya adalah obat batuk warung biasa yang sangat mudah didapatkan di warung-warung saat ini. Ibuku tidak sembuh, dan akhirnya ibu dirawat.

Masalahnya..., aku memang terlalu sensitif atau barangkali cengeng! Ibu yang sedang sakit itu justru aku sendiri menyikapinya seakan akulah yang paling merasa sakit, sehingga aku selalu menangis, bahkan aku bisa berjam-jam sujud di atas sejadah dan sejadah bisa basah kuyup karenanya hanya sekedar memohon kepada Tuhan agar ibu segera sembuh, dan “Jangan pernah ibu meninggalkanku ketika aku belum bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Ya.. Tuhanku jika boleh aku meminta, jika ibu saatnya harus meninggalkanku..., berikanlah aku kekuatan, dan keikhlasan untuk melepasnya”, lagi-lagi aku berdoa. Terus terang aku begitu sangat tergantung kepadanya saat itu, khususnya dukungan kasih sayang, karena rasanya egoku bicara hanya ibulah ketika itu yang bisa merasakan bahwa aku butuh kasih sayang.

Waktu aku kecil, aku memang sakit-sakitan, dan sepertinya aku pernah mengalami penyakit gizi buruk. Aku pernah mengalami sakit biri-biri, dan baru ingin kusampaikan bahwa semenjak kecil sampai saat ini sebenarnya entah kenapa pendengarankupun hanya bisa digunakan sebelah, sampai sekolah SD kurasakan kecerdasanku untuk menerima pelajaranpun di bawah rata-rata. Dalam kasus ini, aku yakin mungkin bukan karena keluargaku tidak mampu, karena secara rata-rata justru keluargaku cukup dipandang berada di kampungku. Ini barangkali lebih kepada kondisi kampung yang begitu polos terhadap pentingnya gizi bagi anak, dan ditambah karena orang tuaku terlalu repot mengurusi anak-anaknya yang berjumlah 10 orang itu. Dan nyatanya semua saudaraku pun sehat-sehat saja, tidak sakit-sakitan seperti aku.

Sepenggal cerita lainnyapun kuingat... Ketika itu ibu masih belum terlalu sepuh, dan aku ketika itu masih kecil. Aku pernah diajak ibu ke sebuah kampung, kampung Calincing namanya yang berjarak kurang lebih 3 km dengan menelusuri jalan setapak kampung-kampung, kebun, dan pesawahan, untuk menengok saudara yang sakit. Bagiku itupun merupakan sebuah kisah yang tak pernah terlupakan. Bagaimana tidak!, aku dan ibu harus menyebrang sebuah sungai curam yang kecuramannya mungkin lebih dari 10 meter. Untuk menyebrang sungai itu atas inisiatif orang-orang kampung saat itu cukup menggunakan jembatan 3 batang bambu, dan panjangnya jembatan itu kurang-lebih 8 meter. Maklumlah namanya juga di kampung, tidak perlu bicara kelayakan, atau apa. Tangan ibu berpegangan di atas bambu pegangan jembatan, sementara rantang bawaan untuk orang sakit dimasukan ke gendongan kainnya, dan tangan ibu yang satunya menenteng tanganku yang gemetaran karena merasa takut melihat kedalaman jembatan yang curam itu. Sungai yang curam itu namanya Cigulampeng. Setiap orang tak asing menyebut sungai itu di kampungku. Ah... kenangan itu memang tak pernah aku lupakan.

Terlalu banyak cerita bersamanya, dan tak mungkin aku menuliskan semuanya, tapi kenangan terakhir bersamanya, ketika ibu sakit keras dan dalam perawatan di Pancoran, Jakarta, dan saat itu adalah saat-saat akhir hidupnya. Ibu minta diantar pulang ke kampung, tepatnya ke rumah pribadinya. Kami sepakat tidak perlu menyewa ambulan, karena ini misinya berbeda, dan kebetulan aku sendiri memiliki kendaraan minibus yang bisa distel joknya dan digunakan layaknya tempat tidur yang nyaman di dalam mobil. Berangkatlah rombongan ke kampung. Dan... setibanya di kampung baru saja istirahat sejenak, ibu minta di antar kembali ke Jakarta, padahal jarak kampung ibu ke Jakarta itu jaraknya kurang lebih 360 km, dan harus ditempuh kurang lebih 6 jam karena bagaimanapun mobil tidak bisa ngebut dengan membawa pasien didalamnya. Itu mungkin cobaan bagi anak-anaknya, atau aku menyikapinya ini sebagai hadiah atau bonus amal yang ibu berikan kepada anak-anaknya . Mampukah hadiah atau bonus itu dinikmati dengan ketulusan oleh anak-anaknya. Jika ya.. hati ibu akan merasa puas, betapa soleh anak-anak yang dibesarkannya selama ini.

Kenanganku kembali ke saat-saat ibu sedang sakit keras dan saat-saat menjelang akhir usianya. Sejak ibu dinyatakan kanker oleh dokter, ibu kondisinya terus menurun. Ibu di rawat di rumah sakit, tapi selanjutnya karena kondisi usia dan sakitnya ibu disarankan dokter untuk tidak dirawat di rumah sakit, cukup dirawat di rumah dan harus ekstra diperhatikan oleh keluarga, khususnya anak-anaknya. Waktu itu secara bergiliran saudara-saudara menunggui ibu yang sedang sakit. Ibu dirawat di rumah saudaraku tertua di Pancoran, maklumlah ayah sendiri sudah semenjak tahun 1984 telah wafat. Ibu sudah terlalu lama hidup dalam kesendirian tanpa suami, siapa lagi kalau bukan para putra-putri yang memperhatikannya.

Ada sesuatu yang aneh...Ketika itu lokasi kantorku ada di Jl. S.Parman, kurang lebih 300m dari tol menuju tol Tomang-Kb Jeruk, untuk selanjutnya menuju Tangerang yaitu tempat tinggalku. Anehnya, aku baru sadar jika aku sampai menjelang lampu merah Tomang mobilku ada di sebelah kiri jalan, bukan sebelah kanan jalan agar langsung belok menuju tol, atau langsung belok kanan menuju Mal Anggrek. Adalah sebuah pelanggaran lalu-lintas jika aku harus memaksakan memotong jalan berbelok ke kanan, atau bisa-bisa diseruduk kendaraan lainnya yang berarah lurus menuju Slipi. Dalam kepanikan sesaat, tiba-tiba aku putuskan untuk menuju Pancoran menengok ibu, walau jatah menunggui ibu bukanlah aku hari itu, karena jatahku baru semalam, karenanya semenjak kemarinnya aku belum pulang ke rumah, pagi-pagi aku menuju kantor dari Pancoran.

Sesampainya di Pancoran... langsung aku menghampiri ibu di kamarnya, dan kulihat ibu sedang piring tidurnya dan tanpa bantal, lalu kutanyakan sama kakak perempuanku yang ketika itu sedang mendapatkan jatah menunggui ibu, kutanyakan “kenapa ibu koq tidurnya seperti ini..?” kakakku bilang “engga tahu tuh emang dari tadi ibu tidurnya seperti itu, semenjak kakak tadi mengeramasinya”. Memang ibu kasihan tidak mungkin rambutnya dikeramas tiap hari, kasihan kedinginan, maklum kondisi ibu hanya tinggal kulit berbalut tulang semenjak terapi sinarnya yang harus dilakukannya sebanyak 11 kali, yang saat itu mungkin jika tidak salah baru 4 kali ibu menjalaninya.

Ketika itu... aku pelan-pelan angkat tubuh ibu, maksudku agar ibu bisa pakai bantal dan tidurnya bisa nyaman. Sejenak ibu membuka matanya, kurapikan selimutnya, dan aku menuju teras yang percis ada di depan kamar ibu untuk sekedar bincang-bincang dengan saudara-saudara yang lainnya. Baru kurang lebih 2 menit barangkali, aku kembali ke kamar ibu, dan ada sesuatu yang aneh dengan nafasnya pikirku. Aku bilang kepada saudara yang lainnya “ini harus kita taklinin...” kata-kataku tersendak di kerongkongan, lalu kudekatkan wajahku ke telinganya kubacakan kalimah “laailahaillah...” berulang-ulang dan bergantian dengan saudaraku yang lainnya. Untuk selanjutnya kurang lebih satu menit kemudian tiba-tiba kakakku yang perempuan berteriak “Ibu...”, serentak semua yang ada di kamar saling menatap tanpa mampu berucap dan ... “innalillahiwainnailairojiun....” ibu meninggal.

Ketika saat itu yakin ibu yang sangat kucinta telah meninggal, lalu kuambil wudlu dan kugelar sejadah percis disamping jenasah ibu. Sengaja kulakukan untuk berdoa agar aku diberi kekuatan, dan kucoba pikiranku menerawang ke masa-masa lalu, ketika aku memohon yang sama kepadaNya, dan dalam sembahyangku kuingat kenapa aku harus mengalami kejadian mobilku tidak bisa langsung menuju rumah, kenapa ibu harus kutidurkan telentang dan kusandarkan di bantal, kenapa ibu harus menatapku saat detik-detik meninggalnya. Akhirnya... kenapa ketika itu aku merasa begitu tulus melepasnya, dan... sejuta tanya ghaib yang tak pernah kutahu maknanya menyertai doaku. Tuhan telah mengabulkan doaku, kenapa harus ada kejadian aneh yang kualami, mungkin ini tak berarti bagi orang lain, tapi bagiku ini adalah segalanya. Segalanya yang bisa aku persembahkan bagi yang paling kucintai, walau tanpa arti apapun dibandingkan dengan cintanya seorang ibu terhadap anak-anaknya.

Dengan tulisan ini sekaligus aku ingin mengucap syukur bahwa dalam ketidakberdayaan secara finansial yang aku hadapi, saudara tertuakulah yang paling banyak baktinya, semoga Allah SWT membalas berlipat segala amalannya, aamien. Wallahualam...,