Friday, March 23, 2007

Memangnya kenapa


Ketika Hindu atau Budha menyembah berhala,
Ada juga yang menyembah patung Yesus dan Bunda Maria
Dan kita menyebutnya kafir,
Ketika para ustadz dan kyai melapalkan Quran sebagai aji-aji pengusir setan, jin ifrit dan sebagainya
Jua, mereka menanyakan kenapa Kabah disembahnya
Maka dijawabnya:
Itu bukan menyembah, tapi sekedar menghadap katanya,
Alasan yang sama dengan mereka
Karena merekapun hakekatnya melakukan yang sama
Lalu, dimana perbedaannya?
Kita harus pandai-pandai bertanya pada nurani dan akal mestinya
Kita punya Quran yang syarat dengan tafsirannya

Lalu aliran dan banyak aliran bermunculan dimana-mana
Kenapa harus berkiblat kepada aliran…?
Akankah kafir, kufur, bidah dan sejuta istilah kesesatan ditujukan kepada sesama seaqidah?
Meskikah sholat, puasa yang dilakukan, adalah alasannya?
Seakan surga pun mutlak miliknya
Walau tak memahami apa hakekatnya
Nyatanya kedzalimanpun masih merajalela dimana-mana, mungkin termasuk dirinya
Ada sesuatu yang lebih nyata
Bercermin pada alam misalnya
Kenapa musibah demi musibah hadir menjamah bersama kehidupan manusia
Kenapa mereka tak menyadarinya
Alam selalu jadi sasaran gamblang penyebabnya
Manusia memang begitu tabiatnya
Orang bodoh dibilang cerdas, bodoh dibilang pandai
Orang yang benar dan salah tak jelas jadinya

Jika ada yang bertanya kepada kita,

Sholat itu apa dan untuk apa?
Puasa itu bagaimana dan untuk apa?
Zakat itu untuk apa?
Haji itu untuk apa?
Apa untuk mendapatkan syurga?
Dan syurga itu gimana dan dimana?
Apa yang mesti kita jawab,
Dan….. ketika kita tidak bisa menjawabnya
Mestikah ibadah orang lain dicaci-makinya
Seakan surgapun sudah ada dalam genggamannya
Padahal ketika ditanya syurga itu apa
kita tak menjawabnya…

Kalau tidak tahu syurga itu apa
Terlalu naif kita berharap mendapatkannya
Ahh.. mestinya kita tak perlu pula menyalahkan bagaimana mereka
Karena nyatanya kita jua belum benar adanya
Nyatanya kita tidak tahu tujuan kita ke mana akhirnya.

Hidup ibarat benih padi yang ditebar di atas persemaian


Oleh: Hedi Rachdiana
(Dalam renungan)

Ketika musim tanam padi tiba pak tani menyiapkan persemaian dan disiapkanlah segala kebutuhan seperti benih, pengairan yang cukup, dan lain sebagainya. Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, maka pak tani pun mengambil benih padi itu dan genggam demi genggam ditebarkanlah dengan sangat hati-hati ke atas persemaian yang sudah disiapkan.

Namun tak urung dari beberapa genggam benih padi yang ditebar pak tani, ada beberapa butir padi yang terpental tidak tepat jatuh di atas persemaian. Walau itu sesuatu yang tidak diharapkan, pak tani pun tetap membiarkannya, karena sesuatu yang tak mungkin untuk memungutnya satu persatu dan menempatkan benih padi yang terpental itu tepat pada tempatnya.

Selang beberapa waktu kemudian tumbuhlah benih padi itu menjadi kecambah. Selanjutnya, benih yang jatuh tepat di atas persemaian yang sudah disiapkan pak tani, maka benih itu tumbuh dengan suburnya. Lain halnya dengan benih yang terpental tadi, benih itu tumbuh dengan tunas yang kurus dan daunnya yang menguning, tipis harapan baginya akan dipakai pak tani untuk dipindahkan ke lahan sawah.

Mujur sekali nasib benih padi yang jatuh tepat di persemaian pak tani itu, karena setelah dipindahkan ke lahan sawah manapun akhirnya tumbuh subur dan menghasilkan bunga serta butiran padi yang lebat. Namun, tidak demikian dengan benih yang terpental itu, mereka tumbuh kurus layu dan akhirnya mati sebelum dipindahkan.

Demikianlah proses perjalanan hidup manusia, ada yang tumbuh seperti benih yang jatuh tepat di persemaian yang sudah disiapkan hingga tumbuh subur dan menghasilkan karya-karya nyata selama hidupnya, ada pula yang hidup tidak sesuai harapan hingga selalu dalam kepapaan selama proses hidupnya.

Manusia tak pernah bisa menawar harus tumbuh dimana dan dengan cara bagaimana, karena hakekatnya manusia terlahir bukanlah kehendaknya, juga ditebar di atas dunia inipun tak bisa ditolaknya. Manusia dan makhluk lainnya semua hanya ada dalam satu genggamanNYA yaitu Tuhan Yang Maha Pengatur segalanya.

Dunia ini adalah persemaian untuk menuju alam selanjutnya, dan manusia adalah benih yang ditebar untuk menghasilkan karya. Lalu, pernahkah kita berfikir dan mempertanyakan keberadaan diri kita ini, apakah kita termasuk benih yang ditebar tepat jatuh di atas persemaian ataukah sebaliknya.

Kalaulah kita memang termasuk yang beruntung karena terlahir dari sebuah benih dan persemaian yang baik dan benar, lalu syukur apa yang telah kita sampaikan sebelum semuanya terlambat karena akhirnya pak tani pun akan menggarap persemaian itu untuk selanjutnya ditebar lagi benih yang baru.

Dan jika kita nyatanya bukan termasuk yang beruntung, maka bersabarlah karena hal yang sama pak tani itu akhirnya akan menggarap persemaian itu dan menebarkan benih yang baru lainnya. Manusia itu bernasib baik atau tidak akhirnya hanya menuju kepada sebuah tempat dimana hakekatnya manusia itu hidup, yaitu sorga atau neraka. Hidup di dunia ini bukanlah segalanya.

HIDUP MESTINYA BAGAI AIR KECIL JERNIH MENGALIR


Oleh: Hedi Rachdiana

Hidup mestinya ibarat air kecil jernih mengalir, mengalir dari hulu ke hilir dengan lincahnya, dan jangan coba-coba menyumbat aliran air karena ketika menggenang akan menimbulkan bau tak sedap untuk sekitarnya dan mengundang berbagai penyakit, dan ketika kita mempermainkannya, maka air pun terkadang datang bagai amarah bah dan tak ada seorangun yang mampu menahannya.

Hidup dituntut harus bergerak walau tidak sekedar mengejar obsesi semata, tapi memikirkan dan berbuat untuk orang lain. Orang bijak mengatakan : ”Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi, siapa yang mau memikirkan orang lain, dia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.” (Sayyid Qutb).

Sungguh malang hidup seorang yang tidak punya makna kebaikan bagi orang lain, apalagi jika kehadirannya justru menjadi masalah bagi orang lain, karena itulah rahasia hidup pribadi unggul bahwa sebaik-baiknya kehidupan adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan sejauhmana hidup kita bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain? Memberi solusi bagi orang lain? Atau malah bikin masalah bagi orang lain ibarat air bah?

Air mengalir terus dan terus menuju ke tempat tertentu dan akhirnya bermuara di laut. Hidup seharusnya juga begitu, mempunyai orientasi dan tujuan yang jelas, tidak sekedar mengalir begitu saja. Hidup harus ibarat air, jika terhambat selalu mencari celah mencari jalan keluarnya. Jika air bermuara di laut, maka hidup muaranya adalah kematian. Suka atau tidak saatnya akan tiba. Memanfaatkan waktu adalah solusi agar hidup tidak menjelma bak air bah yang mampu menggilas apapun yang menghambatnya.

Air kecil jernih mengalir selalu memberi kesejukan mata jika dipandang, kesejukan hati jika dirasa, dan selalu dirindukan kehadirannya. Jadilah hidup bagai air kecil jernih mengalir.