Saturday, October 03, 2009

Ketika Anakku Bertanya Tentang Musibah


Oleh: Hedi Rachdiana

“Kenapa terjadi gempa lagi?”. Kenapa koq sering terjadi musibah?, anakku dengan polos bertanya kemarin sewaktu melihat berita di TV mengenai gempa di Padang yang terjadi kemarin.

“Ada banyak makna dibalik musibah”, itulah kalimat awal yang aku coba jawab dari pertanyaan anakku yang masih duduk di SMA itu.

Emangnya bermakna apa Pa?, kaya ustadz aja…! Anakku menimpali.

“Bapak memang bukan ustadz nak, tapi Bapak juga kan sering denger di pengajian-pengajian, emang katanya musibah itu harus jadi bahan renungan, bukan justru jadi ajang kesempatan nyari keuntungan dengan kumpul-kumpul dana atas nama musibah. Ada lho atas nama yayasan itulah, inilah yang nyampe berapa, yang masuk uang yayasannya berapa… ?! dan juga engga sedikit yang dijadikan ajang promosi, sebagaimana dilakukan mass media tayangan, ujung-ujungnya kan rating tontonan”. Aku mencoba mempengaruhi alam pikiran anakku, agar lebih mudah bagaimana selanjutnya aku bisa memberi pencerahan musibah itu sebenarnya apa!.

“Jadi maknanya gimana donk Pak, emang manusia kan bisanya cuma seperti itu?”, anakku semakin lebih bingung, namun tampak dari nada tanyanya ada rasa penasaran.

“Begini… kumpul-kumpul dana itu benar sebagai bentuk hablumminanas, itu memang perintah agamanya juga demikian, namun juga harus disertai ketulusan dan keihlasan”. Aku tambah bersemangat untuk memberi pencerahan kepadanya.

“Ah.. itu sih tahu, dan semua orang juga tahu berbuat amal itu harus ihlas”, anakku menimpali”.

“Bagus.., kalau kamu tahu tulus dan ihlas itu gimana!, tapi coba kamu pikirkan, atau tanyakan kepada orang-orang. Arti tulus dan ihlas yang sebenarnya itu gimana? Apa cuma sekedar diucapkan dengan lisan dan merogoh dompet menyodorkan uang 10ribu, padahal yang ada di dompet kamu itu 1juta? Nanti dulu…!, itu baru pertanyaan Bapak jika nilai ketulusan diukur dari sisi dompet kamu!”.

“Begini nak!, kalau boleh Bapak bertanya. Pernahkah kamu merasa ingin menangis, atau mungkin kamu memang menangis melihat kejadian sebuah musibah yang dialami orang lain!?. Jika pernah itu bibit-bibit kamu bisa merasakan ketulusan, berikan yang kamu bisa dan itu kamu akan merasakan bibit-bibit suatu keihlasan!. Bisakah..? aku sok berfilsafat dengan nada bertanya dan sedikit memohon”.

“Itu baru bibit, Bapak belum bicara buah.. eh maksud Bapak esensi dari suatu ketulusan dan keihlasan”. Anakku kelihatan semakin bingung, tapi aku perhatikan dia semakin antusias untuk mendengarkan penjelasanku lebih lanjut.

“Baiklah anakku.. “ aku coba alihkan perhatian dengan mengembalikan ke pokok pertanyaannya yang awal. Karena bicara panjang lebar tentang tulus dan ihlas ini tampaknya sulit untuk disampaikan secara rinci dengan lisan, karena yang mungkin adalah urusan hati yang tidak bisa dibaca oleh pikiran orang lain.

“Jadi benar nih kamu ingin tahu; kenapa seringkali terjadi gempa atau musibah, di negeri ini”, sekali lagi aku coba ingatkan lagi kepada pertanyaannya.

“Begini anakku.., kamu pernah dengar ayat yang bunyinya, bahwa tidak ada satu musibah atau kejadian apapun, kecuali itu terjadi dengan izin dan kehendak Allah…?”

“Ya… aku pernah dengar sih Pak, dan itu memang mudah dimengerti bagi kita yang engga langsung merasakan musibah itu. Apa Bapak masih bisa bicara seperti itu jika musibah itu percis menimpa Bapak...!?”

Astagfirullah…. Tiba-tiba jantung ini serasa berhenti berdetak, pertanyaan anakku seakan bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku. Lalu sejenak aku merenung dan bicara dalam hati, “Memang…. apa aku bisa bertahan dalam suatu musibah ketika kondisi imanku cuma sekedar pandai berwacana, mengerti iman cuma sekedar pengetahuan, tanpa mengerti sedikitpun esensinya iman dalam kalbu itu bagaimana!. Nyatanya, mengerti agama pun tak lebih dari hanya menjalankan rutinitas ritualnya, tanpa memahami esensinya. Seakan aku sudah sholat, puasa, dan seterusnya, itu sudah cukup masuk dalam koridor iman.. huh…!”.

“Koq bengong… Pak?” anakku engga sabar untuk mendengar omonganku selanjutnya.

“Ya.. ya.. tadi sampai dimana..?” aku mulai tersadar jika aku sedang memberi pencerahan kepadanya.

“Sebagai renungan kita bahwa penyebab gempa atau musibah merupakan konsumsi yang sangat layak jual di berita-berita, tapi seperti kamu katakan tadi, itu tak banyak berarti bagi para korban, karena toh gempa sudah terjadi. Menurut Bapak yang jauh lebih penting bagi kita; Yang Pertama musibah itu bisa dimaknai sebagai ‘ujian’; adalah bagaimana kita meyakini kejadian ini sebagai sebuah kehendak Allah SWT, agar kemudian Allah SWT memberi petunjuk kepada kita, memberi petunjuk kedalam hati kita, untuk dapat melanjutkan kehidupan ini dengan lebih baik, sebagaimana kelanjutan ayat tadi”. “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kedalam hatinya…..” lanjutku.

“Yang Kedua adalah musibah dapat dimaknai sebagai ‘teguran’, bagi yang lalai”.

“Teguran gimana Pak!? timpal anakku.

“Ya…dengan Rahman dan Rahimnya, Allah SWT menghendaki kita menjadi hamba yang baik, hamba yang taat dan semata mengabadi kepada-Nya, namum kadang sifat manusia kita menyebabkan kita lupa dan lalai dengan kewajiban kita sebagai hamba, dan Allah SWT memiliki cara yang tiada terhingga untuk mengingatkan kita agar kita segera sadar dan kembali meretas jalan lurus yang direntangkannya; dan salah satunya adalah dengan gempa atau musibah itu”.

“Oh… begitu Pak… ada yang lain!?”

“Ya… Yang Ketiga; musibah juga bisa dimaknai sebagai ‘hukuman’. Nah.. makna inilah yang mestinya menakutkan, bukankah indikasi kemurkaan Allah SWT pun bisa saja mungkin, mengingat manusia sudah pada melewati batas!?”

“’Hukuman’ Allah SWT kepada kita....!! ya..ya.. mungkin saja”, anakku mecoba memaknai dari persepsinya, dan tanpaknya dia sudah mulai memahami apa yang aku sampaikan.

“Memang sebagian besar penduduk bumi ini lebih mempercayai teori-teori dzahir penyebab musibah dan mengabaikan dan samasekali tidak melihat kodrat dan iradat Allah SWT, kemudian peringatan diabaikan, teguran tidak diperhatikan, satu-satunya cara untuk mengingatkan manusia adalah dengan hukuman, masuk akal kan Pak” anakku meneruskan komentarnya.

“Betul… dan jika hukuman itu juga diabaikan manusia… !”. Ah.. aku seakan tak sanggup meneruskan kalimat yang akan aku sampaikan kepadanya, mengingat, begitu mengerikannya adzab Allah SWT itu jika memang harus ditimpakan kepada manusia di bumi ini. Pemusnahan habitat manusia…, kiamat… nauudzubillah.

“Telah dicontohkan dalam Kitab Suci mengenai adzab-nya Allah SWT, yang telah diturunkan kepada umat manusia sebelumnya, karena ulahnya manusia itu sendiri, namun sedikitpun tidak menjadi peringatan”.

“Anakku.. Dan bukankah sebagian tanda-tandanya sudah ditampakan saat ini..!? Adzab atau hukuman itu akan sangat terasa mengerikan, ketika manusia masih rindu berlebihan celoteh manja anak-anaknya, cucu-cucunya yang manja dan manis. Semua manusia masih merindukan berlebihan akan cinta umur panjang tanpa mengerti umur panjangnya bermaslahat atau sebaliknya, cinta harta yang banyak dengan mengabaikan tatanan halal-haram, cinta kedudukan karena kesombongan, cinta… sejuta cinta yang masih mengawang dan seakan menjanjikan kesenangan sorgawi dunia!”

“Bukankah begitu anakku?” aku tatap wajahnya, dan tak terasa mataku sepertinya kabur kerena air mata.

“Yaa rabb…” aku bergumam lirih… hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hati ini…..

Wednesday, May 13, 2009

PUISI UNGKAPAN JIWA


Oleh Hedi Rachdiana

Ungkapan ini kutulis dengan bahasa yang sangat sederhana, karenanya barangkali untaian katanya pun tak mencerminkan ungkapan seorang penyair dalam menyampaikan perasaan jiwanya. Aku cuma berharap ungkapannya mudah dicerna, juga punya makna, sebab hakekatnya ungkapan ini adalah sebuah cermin dari inginnya mengungkap perasaan seorang penulisnya.

Aku adalah sebutir debu, sebutir debu yang bercita-cita bahwa bintang-bintang di langit bisa digapainya. Namun apa daya, aku adalah sebutir debu dari sekian juta gumpalan-gumpalan debu yang bertebaran di alam semesta yang tidak ada daya upaya. Debu itu pun terseok-seok terbawa angin yang menghembusnya.

Aku bicara dengan hati, berdoa dengan keluguanku; Tuhan... dapatkah Engkau tempatkan aku di tempatMu, di tempat yang Engkau sebut dengan surga dimana penuh dengan kesejukan dan kedamaian, dimana Engkau selalu melimpahkan keberkahannya..??

Di ufuk timur matahari selalu terbit dan rerumputanpun tak pernah berhenti tumbuh, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaanku bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Kokok ayam tiap pagi, kemudian aku bangun dan seakan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siang berganti malam, dan malam pun berganti siang, tapi aku hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, aku menghabiskan waktu dan tenagaku untuk mengulangi keluguanku yang sama, meskipun aku mengemasnya dengan pernik-pernik yang orang menyebutnya ilmu pengetahuan.

Aih... sebagaimana para bijak katakan; “jangan kamu cuma pandai meminta, tapi kamu harus berusaha!”, aku pun melakukan apa yang harusnya aku lakukan. Karenanya, seiring mentari yang tak henti-hentinya memberi kehangatan para insani surgawi, atau walau dalam hujan dan beceknya jalanan tak menggemingkan semangatku untuk menuju bersemayamnya rejeki itu. Aku telah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan.

Aku telah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui shalat, dan perenungan, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah aku datangi berpuluh bahkan mungkin beratus buku yang orang menyebutnya ilmu pengetahuan bagaimana mengais rejeki itu, namun belum ada satupun yang sanggup memberi jawabnya. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali aku merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.

"Ya, Allah", aku berseru pada setiap saat menjelang tidurku, "kapankah aku bisa menunaikan nadharku ini?, bukankah aku telah bernadhar, jika permohonanku terkabulkan aku akan begini, dan begitu!”

Bisa dipastikan Tuhan mendengar doaku, tetapi siapa yang menjamin bahwa nadharku bakal aku laksanakan. Bukankah aku seringkali lalai? Apa yang bisa aku jawab, ketika Tuhan berargumentasi begini : ”Bagaimana mungkin Kukabulkan permintaanmu, sedangkan kamu belum mengenalKu, kamu adalah setitik debu yang tidak tahu apa-apa tentangKu!”, bukankah untuk mendapatkan rejeki, engkau harus memiliki pengalaman bagaimana mencari rejeki?".

Aku bingung, kenapa mahluk Tuhan yang namanya manusia harus hidup berlimpah rejeki, agar ia bisa berzakat, berhaji, menyantuni pakir miskin, sementara untuk mengais rejeki bagi dirinya sendiri bagai teka-teki!. Pada mulanya ini bukanlah merupakan persoalan baginya. Tapi ketika ia dituntut tanggung jawab lainnya, yaitu memberi nafkah keluarga, menyekolahkan anak-anaknya, belum lagi biaya rumah sakitnya jika ia sakit, atau kelurganya yang sakit!.

"Duhai Tuhan, pemilik segala rejeki", aku bergumam dengan nada penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga enggan untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupanku, tolonglah Engkau kabulkan permohonanku sekali ini saja, sentuhlah jiwaku, beri sedikit pengetahuan atas pertanyaanku ini: “Tuhan, apa hakekatnya Engkau ciptakan aku, bukankah aku tak pandai mewarnai kehidupan ini?. Bukankah dunia tak berubah warna Engkau ciptakan aku atau tidak!”

Seakan telah berabad pertanyaan ini bergelayut di kepalaku, membuat aku semakin kelihatan menjadi orang tolol, di tengah orang-orang yang merasa dirinya pintar. Namun, mestinya aku bersikukuh dalam pendirianku bahwa mereka sebetulnya bukanlah orang-orang pintar, karena jalan hidup setiap orang berbeda jadinya. Seseorang boleh miskin harta, tapi mestinya tidak boleh miskin ilmu filsafat dan logika, agar manusia mengerti hakekat dirinya.

Hed/2009

Ibuku Sayang


Oleh: Hedi Rachdiana

Aku merasa tak berdaya, segenap badanku terasa luluh lantah, ketika dokter mengabarkan kepada keluarga hasil diagnosa bahwa kemungkinan usia ibuku tak lebih dari 2 bulan saja. Dokter pada waktu itu memvonis ibuku kanker tulang.

Kejadian itu memang telah berlalu, tepatnya kejadian itu berlangsung tahun 1998, tapi jujur saja sampai saat ini pikiranku seringkali menerawang jauh ke belakang, kepada saat-sat aku sering bersamanya. Terutama aku sampai saat ini masih bisa membayangkan centi demi centi raut wajah ibu bahkan dari ujung rambut sampai ujung telapaknyapun aku masih bisa menggambarkan secara detail tekstur keriput ketuaannya.

Ibuku adalah profil seorang ibu yang boleh dibilang sempurna dimata anak-anaknya, bagaimana tidak!, beliau mampu mengasuh 10 orang anak tanpa seorangpun dari anak-anaknya yang merasakan omelannya, apalagi cubitan, atau apapun sebagai pelampiasan kemarahannya walau anak-anaknya 7 adalah laki-laki yang pada nakal. Dan aku sendiri anak ke 8. Aku adalah saksi bahwa beliau tidak pernah sekalipun menggunakan mulut ataupun tangannya ketika beliau memarahi anaknya, bahkan mungkin memang beliau tak punya hati untuk memarahi siapapun, kecuali hanya dengan kesabaranya setiap persolan beliau selesaikan.

Aku tidak tahu, apakah aku terlalu sensitif atau bagaimana. “Tuhan aku mohon untuk ibuku..jangan pernah sakit!“ Itulah perasaan yang selalu kutuntut saat berdoa untuk ibuku. Jika ibuku sakit, maka yang terbayang adalah sesuatu yang terburuk yang bisa aku bayangkan. Aku tidak mau kehilangan, dari sosok seorang yang paling kucintai, bahkan jika boleh aku menawar kepada Sang Pemilik Hidup, aku minta akulah yang lebih dulu dipanggilnya. Itulah yang kurasakan sampai aku menjelang dewasa dan berumah tangga. Memang semenjak berumah tangga walau tak sedikitpun mengurangi cintaku kepada ibu, cintaku merasa sudah berbagi dengan khususnya anak-anakku.

Suatu saat... percisnya aku sudah lupa, tapi moment-nya masih bisa aku ingat, walau sepenggal cerita tak berarti bagi orang lain tapi bagaimanapun kejadian ini kuingat seumur hidupku. Waktu itu aku masih di SMP, ibu sedang sakit keras. Beberapa hari ibu tak bangun dari tempat tidurnya. Ibu terbatuk-batuk dan aku bingung harus berbuat apa. Untung saudara tertuaku datang dari Jakarta, dan saat itu aku diberi uang untuk membeli obat. Tiba-tiba aku ambil sepedaku dan kugayuh ke kota yang jaraknya 6 km, maksudnya aku mau ke apotek mencari obat. Maklumlah rumah keluargaku ada di sebuah kampung yang jauh dari fasilitas saat itu. Akhirnya kudapatkan obat batuk yang sebenarnya adalah obat batuk warung biasa yang sangat mudah didapatkan di warung-warung saat ini. Ibuku tidak sembuh, dan akhirnya ibu dirawat.

Masalahnya..., aku memang terlalu sensitif atau barangkali cengeng! Ibu yang sedang sakit itu justru aku sendiri menyikapinya seakan akulah yang paling merasa sakit, sehingga aku selalu menangis, bahkan aku bisa berjam-jam sujud di atas sejadah dan sejadah bisa basah kuyup karenanya hanya sekedar memohon kepada Tuhan agar ibu segera sembuh, dan “Jangan pernah ibu meninggalkanku ketika aku belum bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Ya.. Tuhanku jika boleh aku meminta, jika ibu saatnya harus meninggalkanku..., berikanlah aku kekuatan, dan keikhlasan untuk melepasnya”, lagi-lagi aku berdoa. Terus terang aku begitu sangat tergantung kepadanya saat itu, khususnya dukungan kasih sayang, karena rasanya egoku bicara hanya ibulah ketika itu yang bisa merasakan bahwa aku butuh kasih sayang.

Waktu aku kecil, aku memang sakit-sakitan, dan sepertinya aku pernah mengalami penyakit gizi buruk. Aku pernah mengalami sakit biri-biri, dan baru ingin kusampaikan bahwa semenjak kecil sampai saat ini sebenarnya entah kenapa pendengarankupun hanya bisa digunakan sebelah, sampai sekolah SD kurasakan kecerdasanku untuk menerima pelajaranpun di bawah rata-rata. Dalam kasus ini, aku yakin mungkin bukan karena keluargaku tidak mampu, karena secara rata-rata justru keluargaku cukup dipandang berada di kampungku. Ini barangkali lebih kepada kondisi kampung yang begitu polos terhadap pentingnya gizi bagi anak, dan ditambah karena orang tuaku terlalu repot mengurusi anak-anaknya yang berjumlah 10 orang itu. Dan nyatanya semua saudaraku pun sehat-sehat saja, tidak sakit-sakitan seperti aku.

Sepenggal cerita lainnyapun kuingat... Ketika itu ibu masih belum terlalu sepuh, dan aku ketika itu masih kecil. Aku pernah diajak ibu ke sebuah kampung, kampung Calincing namanya yang berjarak kurang lebih 3 km dengan menelusuri jalan setapak kampung-kampung, kebun, dan pesawahan, untuk menengok saudara yang sakit. Bagiku itupun merupakan sebuah kisah yang tak pernah terlupakan. Bagaimana tidak!, aku dan ibu harus menyebrang sebuah sungai curam yang kecuramannya mungkin lebih dari 10 meter. Untuk menyebrang sungai itu atas inisiatif orang-orang kampung saat itu cukup menggunakan jembatan 3 batang bambu, dan panjangnya jembatan itu kurang-lebih 8 meter. Maklumlah namanya juga di kampung, tidak perlu bicara kelayakan, atau apa. Tangan ibu berpegangan di atas bambu pegangan jembatan, sementara rantang bawaan untuk orang sakit dimasukan ke gendongan kainnya, dan tangan ibu yang satunya menenteng tanganku yang gemetaran karena merasa takut melihat kedalaman jembatan yang curam itu. Sungai yang curam itu namanya Cigulampeng. Setiap orang tak asing menyebut sungai itu di kampungku. Ah... kenangan itu memang tak pernah aku lupakan.

Terlalu banyak cerita bersamanya, dan tak mungkin aku menuliskan semuanya, tapi kenangan terakhir bersamanya, ketika ibu sakit keras dan dalam perawatan di Pancoran, Jakarta, dan saat itu adalah saat-saat akhir hidupnya. Ibu minta diantar pulang ke kampung, tepatnya ke rumah pribadinya. Kami sepakat tidak perlu menyewa ambulan, karena ini misinya berbeda, dan kebetulan aku sendiri memiliki kendaraan minibus yang bisa distel joknya dan digunakan layaknya tempat tidur yang nyaman di dalam mobil. Berangkatlah rombongan ke kampung. Dan... setibanya di kampung baru saja istirahat sejenak, ibu minta di antar kembali ke Jakarta, padahal jarak kampung ibu ke Jakarta itu jaraknya kurang lebih 360 km, dan harus ditempuh kurang lebih 6 jam karena bagaimanapun mobil tidak bisa ngebut dengan membawa pasien didalamnya. Itu mungkin cobaan bagi anak-anaknya, atau aku menyikapinya ini sebagai hadiah atau bonus amal yang ibu berikan kepada anak-anaknya . Mampukah hadiah atau bonus itu dinikmati dengan ketulusan oleh anak-anaknya. Jika ya.. hati ibu akan merasa puas, betapa soleh anak-anak yang dibesarkannya selama ini.

Kenanganku kembali ke saat-saat ibu sedang sakit keras dan saat-saat menjelang akhir usianya. Sejak ibu dinyatakan kanker oleh dokter, ibu kondisinya terus menurun. Ibu di rawat di rumah sakit, tapi selanjutnya karena kondisi usia dan sakitnya ibu disarankan dokter untuk tidak dirawat di rumah sakit, cukup dirawat di rumah dan harus ekstra diperhatikan oleh keluarga, khususnya anak-anaknya. Waktu itu secara bergiliran saudara-saudara menunggui ibu yang sedang sakit. Ibu dirawat di rumah saudaraku tertua di Pancoran, maklumlah ayah sendiri sudah semenjak tahun 1984 telah wafat. Ibu sudah terlalu lama hidup dalam kesendirian tanpa suami, siapa lagi kalau bukan para putra-putri yang memperhatikannya.

Ada sesuatu yang aneh...Ketika itu lokasi kantorku ada di Jl. S.Parman, kurang lebih 300m dari tol menuju tol Tomang-Kb Jeruk, untuk selanjutnya menuju Tangerang yaitu tempat tinggalku. Anehnya, aku baru sadar jika aku sampai menjelang lampu merah Tomang mobilku ada di sebelah kiri jalan, bukan sebelah kanan jalan agar langsung belok menuju tol, atau langsung belok kanan menuju Mal Anggrek. Adalah sebuah pelanggaran lalu-lintas jika aku harus memaksakan memotong jalan berbelok ke kanan, atau bisa-bisa diseruduk kendaraan lainnya yang berarah lurus menuju Slipi. Dalam kepanikan sesaat, tiba-tiba aku putuskan untuk menuju Pancoran menengok ibu, walau jatah menunggui ibu bukanlah aku hari itu, karena jatahku baru semalam, karenanya semenjak kemarinnya aku belum pulang ke rumah, pagi-pagi aku menuju kantor dari Pancoran.

Sesampainya di Pancoran... langsung aku menghampiri ibu di kamarnya, dan kulihat ibu sedang piring tidurnya dan tanpa bantal, lalu kutanyakan sama kakak perempuanku yang ketika itu sedang mendapatkan jatah menunggui ibu, kutanyakan “kenapa ibu koq tidurnya seperti ini..?” kakakku bilang “engga tahu tuh emang dari tadi ibu tidurnya seperti itu, semenjak kakak tadi mengeramasinya”. Memang ibu kasihan tidak mungkin rambutnya dikeramas tiap hari, kasihan kedinginan, maklum kondisi ibu hanya tinggal kulit berbalut tulang semenjak terapi sinarnya yang harus dilakukannya sebanyak 11 kali, yang saat itu mungkin jika tidak salah baru 4 kali ibu menjalaninya.

Ketika itu... aku pelan-pelan angkat tubuh ibu, maksudku agar ibu bisa pakai bantal dan tidurnya bisa nyaman. Sejenak ibu membuka matanya, kurapikan selimutnya, dan aku menuju teras yang percis ada di depan kamar ibu untuk sekedar bincang-bincang dengan saudara-saudara yang lainnya. Baru kurang lebih 2 menit barangkali, aku kembali ke kamar ibu, dan ada sesuatu yang aneh dengan nafasnya pikirku. Aku bilang kepada saudara yang lainnya “ini harus kita taklinin...” kata-kataku tersendak di kerongkongan, lalu kudekatkan wajahku ke telinganya kubacakan kalimah “laailahaillah...” berulang-ulang dan bergantian dengan saudaraku yang lainnya. Untuk selanjutnya kurang lebih satu menit kemudian tiba-tiba kakakku yang perempuan berteriak “Ibu...”, serentak semua yang ada di kamar saling menatap tanpa mampu berucap dan ... “innalillahiwainnailairojiun....” ibu meninggal.

Ketika saat itu yakin ibu yang sangat kucinta telah meninggal, lalu kuambil wudlu dan kugelar sejadah percis disamping jenasah ibu. Sengaja kulakukan untuk berdoa agar aku diberi kekuatan, dan kucoba pikiranku menerawang ke masa-masa lalu, ketika aku memohon yang sama kepadaNya, dan dalam sembahyangku kuingat kenapa aku harus mengalami kejadian mobilku tidak bisa langsung menuju rumah, kenapa ibu harus kutidurkan telentang dan kusandarkan di bantal, kenapa ibu harus menatapku saat detik-detik meninggalnya. Akhirnya... kenapa ketika itu aku merasa begitu tulus melepasnya, dan... sejuta tanya ghaib yang tak pernah kutahu maknanya menyertai doaku. Tuhan telah mengabulkan doaku, kenapa harus ada kejadian aneh yang kualami, mungkin ini tak berarti bagi orang lain, tapi bagiku ini adalah segalanya. Segalanya yang bisa aku persembahkan bagi yang paling kucintai, walau tanpa arti apapun dibandingkan dengan cintanya seorang ibu terhadap anak-anaknya.

Dengan tulisan ini sekaligus aku ingin mengucap syukur bahwa dalam ketidakberdayaan secara finansial yang aku hadapi, saudara tertuakulah yang paling banyak baktinya, semoga Allah SWT membalas berlipat segala amalannya, aamien. Wallahualam...,