Saturday, March 03, 2012

Tuhanku,,,

Aku lalui langkah beratku
dengan kebisuan tubuhku
semakin aku tidak mengerti
semakin lambat jalanku

Usiaku, semakin dekat
mendekat kepada liang lahatku
Tuhanku mengertilah
hanya engkau yang aku rindu

Friday, April 09, 2010

Ada apa sebenarnya

Ada ketidakadilan dimana mana
Ada kebohongan dimana mana
Ada kemunafikan dimana mana
Ada ketololan dimana mana

Ada orang miskin meminta sedekah dan kita bersumpah serapah
Ada orang kaya pamer harta dan kita kagum dibuatnya
Ada selibriti cabul pingin jadi penguasa dan kita bangga karenanya
Ada banjir dan longsor dimana-mana dan kita sekedar prihatin katanya

Ada orang pajak makan duit pajak dan kita dituntut dengan loyalitas
Ada agama katanya tapi ranah nurani manusia sirna entah kemana
Ada hidup tapi lupa mungkin esok tak ada waktu lagi buat kita
Ada apa sebenarnya

Thursday, February 25, 2010

Entahlah...


Adalah dalam kegamangan
Aku ingin bicara
Atau setidaknya berbisik
Tak sepatah katapun kuucap
Lidah kelu terpasung...

Laksana dalam remang-remang
Hanya ada bias cahaya lilin kecil
Hanya ada tangis walau tak berurai air mata
Waktu pun berdetak cepat...

Dalam bayang cermin cahaya lilin
Entah apa yang kutunggu
Entah apa yang kuharap
Hanya ada mulut terkunci rapat...

Hed/2010

Wednesday, February 17, 2010

JADILAH SEORANG MUSLIM YANG PROFESIONAL


Pagi ini aku pergi ke kantor dengan mengendarai sepeda motor. Alhamdulillah pagi ini cuaca begitu cerah, padahal musim hujan mestinya sedang mencapai puncak-puncaknya. Kurasakan jalanan agak sejuk, tampaknya tadi malam baru turun hujan. Dengan cuaca yang bersahabat inilah aku begitu menikmati setiap perjalanan, seakan aku ingin mengukur meter demi meter aspal jalanan.

Aku bukan ingin bercerita tentang cuaca, atau tentang nikmatnya bersepeda motor di pagi hari ketika semalam aspal jalanan baru diguyur hujan, tapi sebenarnya aku ingin menceritakan apa yang kulihat ketika aku tadi di perjalanan, walau bagi sebagian orang apa yang kulihat itu mungkin bukan persoalan yang mesti dipikirkan, apalagi dibahas, tapi bagiku ini masalah ujian bagiku, sejauhmana aku peduli kepada apa yang kuyakini itu benar itu salah.

Masalahnya begini; ketika aku sedang menikmati perjalanan tadi, tiba-tiba ada seorang pengendara sepeda motor bebek menyalip motorku, sejenak aku terkaget, tapi mataku melihat sepertinya ada sesuatu yang aneh di belakang jaketnya. Dengan penasaran kukejar motor itu, maksudnya ingin lebih dekat lagi agar aku bisa membaca tulisan di jaketnya itu apa! Benar! Dengan jelas kubaca tulisannya berbunyi “JADILAH SEORANG MUSLIM YANG PROFESIONAL”, dan tulisan tersebut percis diatasnya terdapat lambang logo WINDOWS (operating system komputer).

Sejenak aku berfikir! Apa iki to mas maksudne? Apa sekedar atribut, atau sebuah komuniti nyari sensasi, sebuah show force dari kawula muda dunia Information Technology (IT) bahwa “Ini lho enya, babe.. aku orang-orang IT profesional yang canggih, tapi aku juga adalah orang-orang yang tak melupakan agama..!”.

Maksudnya sih begitu kali!, Komunitas itu ingin tampil beda, tidak ortodok, tapi rasa kritisku mengatakan inilah produk pendidikan agama yang salah kaprah. Jika pemahaman seperti ini terus berkembang, maka tidak mustahil setiap orang mensyahkan adanya komersialisasi agama. Ekstrimnya.. ya seperti para dai yang pasang tarif itu kali...!

Agama mestinya dipahami sebagai ajaran ahlak yang luhur, Islam bahkan mengajarkan bahwa segala yang berhubungan dengan material itu adalah alat untuk menuju kehidupan hakiki, karena kehidupan yang hakiki itu sebenarnya adalah akherat.

Akan sangat kontradiktif, jika agama dipahami sebagi kepentingan utamanya adalah sesuatu yang bersifat jasad, atau wujud, atau penampilan yang digambarkan sebagai profesional itu daripada esensinya.

Wallahualam,

Saturday, October 03, 2009

Ketika Anakku Bertanya Tentang Musibah


Oleh: Hedi Rachdiana

“Kenapa terjadi gempa lagi?”. Kenapa koq sering terjadi musibah?, anakku dengan polos bertanya kemarin sewaktu melihat berita di TV mengenai gempa di Padang yang terjadi kemarin.

“Ada banyak makna dibalik musibah”, itulah kalimat awal yang aku coba jawab dari pertanyaan anakku yang masih duduk di SMA itu.

Emangnya bermakna apa Pa?, kaya ustadz aja…! Anakku menimpali.

“Bapak memang bukan ustadz nak, tapi Bapak juga kan sering denger di pengajian-pengajian, emang katanya musibah itu harus jadi bahan renungan, bukan justru jadi ajang kesempatan nyari keuntungan dengan kumpul-kumpul dana atas nama musibah. Ada lho atas nama yayasan itulah, inilah yang nyampe berapa, yang masuk uang yayasannya berapa… ?! dan juga engga sedikit yang dijadikan ajang promosi, sebagaimana dilakukan mass media tayangan, ujung-ujungnya kan rating tontonan”. Aku mencoba mempengaruhi alam pikiran anakku, agar lebih mudah bagaimana selanjutnya aku bisa memberi pencerahan musibah itu sebenarnya apa!.

“Jadi maknanya gimana donk Pak, emang manusia kan bisanya cuma seperti itu?”, anakku semakin lebih bingung, namun tampak dari nada tanyanya ada rasa penasaran.

“Begini… kumpul-kumpul dana itu benar sebagai bentuk hablumminanas, itu memang perintah agamanya juga demikian, namun juga harus disertai ketulusan dan keihlasan”. Aku tambah bersemangat untuk memberi pencerahan kepadanya.

“Ah.. itu sih tahu, dan semua orang juga tahu berbuat amal itu harus ihlas”, anakku menimpali”.

“Bagus.., kalau kamu tahu tulus dan ihlas itu gimana!, tapi coba kamu pikirkan, atau tanyakan kepada orang-orang. Arti tulus dan ihlas yang sebenarnya itu gimana? Apa cuma sekedar diucapkan dengan lisan dan merogoh dompet menyodorkan uang 10ribu, padahal yang ada di dompet kamu itu 1juta? Nanti dulu…!, itu baru pertanyaan Bapak jika nilai ketulusan diukur dari sisi dompet kamu!”.

“Begini nak!, kalau boleh Bapak bertanya. Pernahkah kamu merasa ingin menangis, atau mungkin kamu memang menangis melihat kejadian sebuah musibah yang dialami orang lain!?. Jika pernah itu bibit-bibit kamu bisa merasakan ketulusan, berikan yang kamu bisa dan itu kamu akan merasakan bibit-bibit suatu keihlasan!. Bisakah..? aku sok berfilsafat dengan nada bertanya dan sedikit memohon”.

“Itu baru bibit, Bapak belum bicara buah.. eh maksud Bapak esensi dari suatu ketulusan dan keihlasan”. Anakku kelihatan semakin bingung, tapi aku perhatikan dia semakin antusias untuk mendengarkan penjelasanku lebih lanjut.

“Baiklah anakku.. “ aku coba alihkan perhatian dengan mengembalikan ke pokok pertanyaannya yang awal. Karena bicara panjang lebar tentang tulus dan ihlas ini tampaknya sulit untuk disampaikan secara rinci dengan lisan, karena yang mungkin adalah urusan hati yang tidak bisa dibaca oleh pikiran orang lain.

“Jadi benar nih kamu ingin tahu; kenapa seringkali terjadi gempa atau musibah, di negeri ini”, sekali lagi aku coba ingatkan lagi kepada pertanyaannya.

“Begini anakku.., kamu pernah dengar ayat yang bunyinya, bahwa tidak ada satu musibah atau kejadian apapun, kecuali itu terjadi dengan izin dan kehendak Allah…?”

“Ya… aku pernah dengar sih Pak, dan itu memang mudah dimengerti bagi kita yang engga langsung merasakan musibah itu. Apa Bapak masih bisa bicara seperti itu jika musibah itu percis menimpa Bapak...!?”

Astagfirullah…. Tiba-tiba jantung ini serasa berhenti berdetak, pertanyaan anakku seakan bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku. Lalu sejenak aku merenung dan bicara dalam hati, “Memang…. apa aku bisa bertahan dalam suatu musibah ketika kondisi imanku cuma sekedar pandai berwacana, mengerti iman cuma sekedar pengetahuan, tanpa mengerti sedikitpun esensinya iman dalam kalbu itu bagaimana!. Nyatanya, mengerti agama pun tak lebih dari hanya menjalankan rutinitas ritualnya, tanpa memahami esensinya. Seakan aku sudah sholat, puasa, dan seterusnya, itu sudah cukup masuk dalam koridor iman.. huh…!”.

“Koq bengong… Pak?” anakku engga sabar untuk mendengar omonganku selanjutnya.

“Ya.. ya.. tadi sampai dimana..?” aku mulai tersadar jika aku sedang memberi pencerahan kepadanya.

“Sebagai renungan kita bahwa penyebab gempa atau musibah merupakan konsumsi yang sangat layak jual di berita-berita, tapi seperti kamu katakan tadi, itu tak banyak berarti bagi para korban, karena toh gempa sudah terjadi. Menurut Bapak yang jauh lebih penting bagi kita; Yang Pertama musibah itu bisa dimaknai sebagai ‘ujian’; adalah bagaimana kita meyakini kejadian ini sebagai sebuah kehendak Allah SWT, agar kemudian Allah SWT memberi petunjuk kepada kita, memberi petunjuk kedalam hati kita, untuk dapat melanjutkan kehidupan ini dengan lebih baik, sebagaimana kelanjutan ayat tadi”. “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kedalam hatinya…..” lanjutku.

“Yang Kedua adalah musibah dapat dimaknai sebagai ‘teguran’, bagi yang lalai”.

“Teguran gimana Pak!? timpal anakku.

“Ya…dengan Rahman dan Rahimnya, Allah SWT menghendaki kita menjadi hamba yang baik, hamba yang taat dan semata mengabadi kepada-Nya, namum kadang sifat manusia kita menyebabkan kita lupa dan lalai dengan kewajiban kita sebagai hamba, dan Allah SWT memiliki cara yang tiada terhingga untuk mengingatkan kita agar kita segera sadar dan kembali meretas jalan lurus yang direntangkannya; dan salah satunya adalah dengan gempa atau musibah itu”.

“Oh… begitu Pak… ada yang lain!?”

“Ya… Yang Ketiga; musibah juga bisa dimaknai sebagai ‘hukuman’. Nah.. makna inilah yang mestinya menakutkan, bukankah indikasi kemurkaan Allah SWT pun bisa saja mungkin, mengingat manusia sudah pada melewati batas!?”

“’Hukuman’ Allah SWT kepada kita....!! ya..ya.. mungkin saja”, anakku mecoba memaknai dari persepsinya, dan tanpaknya dia sudah mulai memahami apa yang aku sampaikan.

“Memang sebagian besar penduduk bumi ini lebih mempercayai teori-teori dzahir penyebab musibah dan mengabaikan dan samasekali tidak melihat kodrat dan iradat Allah SWT, kemudian peringatan diabaikan, teguran tidak diperhatikan, satu-satunya cara untuk mengingatkan manusia adalah dengan hukuman, masuk akal kan Pak” anakku meneruskan komentarnya.

“Betul… dan jika hukuman itu juga diabaikan manusia… !”. Ah.. aku seakan tak sanggup meneruskan kalimat yang akan aku sampaikan kepadanya, mengingat, begitu mengerikannya adzab Allah SWT itu jika memang harus ditimpakan kepada manusia di bumi ini. Pemusnahan habitat manusia…, kiamat… nauudzubillah.

“Telah dicontohkan dalam Kitab Suci mengenai adzab-nya Allah SWT, yang telah diturunkan kepada umat manusia sebelumnya, karena ulahnya manusia itu sendiri, namun sedikitpun tidak menjadi peringatan”.

“Anakku.. Dan bukankah sebagian tanda-tandanya sudah ditampakan saat ini..!? Adzab atau hukuman itu akan sangat terasa mengerikan, ketika manusia masih rindu berlebihan celoteh manja anak-anaknya, cucu-cucunya yang manja dan manis. Semua manusia masih merindukan berlebihan akan cinta umur panjang tanpa mengerti umur panjangnya bermaslahat atau sebaliknya, cinta harta yang banyak dengan mengabaikan tatanan halal-haram, cinta kedudukan karena kesombongan, cinta… sejuta cinta yang masih mengawang dan seakan menjanjikan kesenangan sorgawi dunia!”

“Bukankah begitu anakku?” aku tatap wajahnya, dan tak terasa mataku sepertinya kabur kerena air mata.

“Yaa rabb…” aku bergumam lirih… hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hati ini…..

Wednesday, May 13, 2009

PUISI UNGKAPAN JIWA


Oleh Hedi Rachdiana

Ungkapan ini kutulis dengan bahasa yang sangat sederhana, karenanya barangkali untaian katanya pun tak mencerminkan ungkapan seorang penyair dalam menyampaikan perasaan jiwanya. Aku cuma berharap ungkapannya mudah dicerna, juga punya makna, sebab hakekatnya ungkapan ini adalah sebuah cermin dari inginnya mengungkap perasaan seorang penulisnya.

Aku adalah sebutir debu, sebutir debu yang bercita-cita bahwa bintang-bintang di langit bisa digapainya. Namun apa daya, aku adalah sebutir debu dari sekian juta gumpalan-gumpalan debu yang bertebaran di alam semesta yang tidak ada daya upaya. Debu itu pun terseok-seok terbawa angin yang menghembusnya.

Aku bicara dengan hati, berdoa dengan keluguanku; Tuhan... dapatkah Engkau tempatkan aku di tempatMu, di tempat yang Engkau sebut dengan surga dimana penuh dengan kesejukan dan kedamaian, dimana Engkau selalu melimpahkan keberkahannya..??

Di ufuk timur matahari selalu terbit dan rerumputanpun tak pernah berhenti tumbuh, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaanku bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Kokok ayam tiap pagi, kemudian aku bangun dan seakan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siang berganti malam, dan malam pun berganti siang, tapi aku hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, aku menghabiskan waktu dan tenagaku untuk mengulangi keluguanku yang sama, meskipun aku mengemasnya dengan pernik-pernik yang orang menyebutnya ilmu pengetahuan.

Aih... sebagaimana para bijak katakan; “jangan kamu cuma pandai meminta, tapi kamu harus berusaha!”, aku pun melakukan apa yang harusnya aku lakukan. Karenanya, seiring mentari yang tak henti-hentinya memberi kehangatan para insani surgawi, atau walau dalam hujan dan beceknya jalanan tak menggemingkan semangatku untuk menuju bersemayamnya rejeki itu. Aku telah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan.

Aku telah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui shalat, dan perenungan, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah aku datangi berpuluh bahkan mungkin beratus buku yang orang menyebutnya ilmu pengetahuan bagaimana mengais rejeki itu, namun belum ada satupun yang sanggup memberi jawabnya. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali aku merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.

"Ya, Allah", aku berseru pada setiap saat menjelang tidurku, "kapankah aku bisa menunaikan nadharku ini?, bukankah aku telah bernadhar, jika permohonanku terkabulkan aku akan begini, dan begitu!”

Bisa dipastikan Tuhan mendengar doaku, tetapi siapa yang menjamin bahwa nadharku bakal aku laksanakan. Bukankah aku seringkali lalai? Apa yang bisa aku jawab, ketika Tuhan berargumentasi begini : ”Bagaimana mungkin Kukabulkan permintaanmu, sedangkan kamu belum mengenalKu, kamu adalah setitik debu yang tidak tahu apa-apa tentangKu!”, bukankah untuk mendapatkan rejeki, engkau harus memiliki pengalaman bagaimana mencari rejeki?".

Aku bingung, kenapa mahluk Tuhan yang namanya manusia harus hidup berlimpah rejeki, agar ia bisa berzakat, berhaji, menyantuni pakir miskin, sementara untuk mengais rejeki bagi dirinya sendiri bagai teka-teki!. Pada mulanya ini bukanlah merupakan persoalan baginya. Tapi ketika ia dituntut tanggung jawab lainnya, yaitu memberi nafkah keluarga, menyekolahkan anak-anaknya, belum lagi biaya rumah sakitnya jika ia sakit, atau kelurganya yang sakit!.

"Duhai Tuhan, pemilik segala rejeki", aku bergumam dengan nada penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga enggan untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupanku, tolonglah Engkau kabulkan permohonanku sekali ini saja, sentuhlah jiwaku, beri sedikit pengetahuan atas pertanyaanku ini: “Tuhan, apa hakekatnya Engkau ciptakan aku, bukankah aku tak pandai mewarnai kehidupan ini?. Bukankah dunia tak berubah warna Engkau ciptakan aku atau tidak!”

Seakan telah berabad pertanyaan ini bergelayut di kepalaku, membuat aku semakin kelihatan menjadi orang tolol, di tengah orang-orang yang merasa dirinya pintar. Namun, mestinya aku bersikukuh dalam pendirianku bahwa mereka sebetulnya bukanlah orang-orang pintar, karena jalan hidup setiap orang berbeda jadinya. Seseorang boleh miskin harta, tapi mestinya tidak boleh miskin ilmu filsafat dan logika, agar manusia mengerti hakekat dirinya.

Hed/2009

Ibuku Sayang


Oleh: Hedi Rachdiana

Aku merasa tak berdaya, segenap badanku terasa luluh lantah, ketika dokter mengabarkan kepada keluarga hasil diagnosa bahwa kemungkinan usia ibuku tak lebih dari 2 bulan saja. Dokter pada waktu itu memvonis ibuku kanker tulang.

Kejadian itu memang telah berlalu, tepatnya kejadian itu berlangsung tahun 1998, tapi jujur saja sampai saat ini pikiranku seringkali menerawang jauh ke belakang, kepada saat-sat aku sering bersamanya. Terutama aku sampai saat ini masih bisa membayangkan centi demi centi raut wajah ibu bahkan dari ujung rambut sampai ujung telapaknyapun aku masih bisa menggambarkan secara detail tekstur keriput ketuaannya.

Ibuku adalah profil seorang ibu yang boleh dibilang sempurna dimata anak-anaknya, bagaimana tidak!, beliau mampu mengasuh 10 orang anak tanpa seorangpun dari anak-anaknya yang merasakan omelannya, apalagi cubitan, atau apapun sebagai pelampiasan kemarahannya walau anak-anaknya 7 adalah laki-laki yang pada nakal. Dan aku sendiri anak ke 8. Aku adalah saksi bahwa beliau tidak pernah sekalipun menggunakan mulut ataupun tangannya ketika beliau memarahi anaknya, bahkan mungkin memang beliau tak punya hati untuk memarahi siapapun, kecuali hanya dengan kesabaranya setiap persolan beliau selesaikan.

Aku tidak tahu, apakah aku terlalu sensitif atau bagaimana. “Tuhan aku mohon untuk ibuku..jangan pernah sakit!“ Itulah perasaan yang selalu kutuntut saat berdoa untuk ibuku. Jika ibuku sakit, maka yang terbayang adalah sesuatu yang terburuk yang bisa aku bayangkan. Aku tidak mau kehilangan, dari sosok seorang yang paling kucintai, bahkan jika boleh aku menawar kepada Sang Pemilik Hidup, aku minta akulah yang lebih dulu dipanggilnya. Itulah yang kurasakan sampai aku menjelang dewasa dan berumah tangga. Memang semenjak berumah tangga walau tak sedikitpun mengurangi cintaku kepada ibu, cintaku merasa sudah berbagi dengan khususnya anak-anakku.

Suatu saat... percisnya aku sudah lupa, tapi moment-nya masih bisa aku ingat, walau sepenggal cerita tak berarti bagi orang lain tapi bagaimanapun kejadian ini kuingat seumur hidupku. Waktu itu aku masih di SMP, ibu sedang sakit keras. Beberapa hari ibu tak bangun dari tempat tidurnya. Ibu terbatuk-batuk dan aku bingung harus berbuat apa. Untung saudara tertuaku datang dari Jakarta, dan saat itu aku diberi uang untuk membeli obat. Tiba-tiba aku ambil sepedaku dan kugayuh ke kota yang jaraknya 6 km, maksudnya aku mau ke apotek mencari obat. Maklumlah rumah keluargaku ada di sebuah kampung yang jauh dari fasilitas saat itu. Akhirnya kudapatkan obat batuk yang sebenarnya adalah obat batuk warung biasa yang sangat mudah didapatkan di warung-warung saat ini. Ibuku tidak sembuh, dan akhirnya ibu dirawat.

Masalahnya..., aku memang terlalu sensitif atau barangkali cengeng! Ibu yang sedang sakit itu justru aku sendiri menyikapinya seakan akulah yang paling merasa sakit, sehingga aku selalu menangis, bahkan aku bisa berjam-jam sujud di atas sejadah dan sejadah bisa basah kuyup karenanya hanya sekedar memohon kepada Tuhan agar ibu segera sembuh, dan “Jangan pernah ibu meninggalkanku ketika aku belum bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Ya.. Tuhanku jika boleh aku meminta, jika ibu saatnya harus meninggalkanku..., berikanlah aku kekuatan, dan keikhlasan untuk melepasnya”, lagi-lagi aku berdoa. Terus terang aku begitu sangat tergantung kepadanya saat itu, khususnya dukungan kasih sayang, karena rasanya egoku bicara hanya ibulah ketika itu yang bisa merasakan bahwa aku butuh kasih sayang.

Waktu aku kecil, aku memang sakit-sakitan, dan sepertinya aku pernah mengalami penyakit gizi buruk. Aku pernah mengalami sakit biri-biri, dan baru ingin kusampaikan bahwa semenjak kecil sampai saat ini sebenarnya entah kenapa pendengarankupun hanya bisa digunakan sebelah, sampai sekolah SD kurasakan kecerdasanku untuk menerima pelajaranpun di bawah rata-rata. Dalam kasus ini, aku yakin mungkin bukan karena keluargaku tidak mampu, karena secara rata-rata justru keluargaku cukup dipandang berada di kampungku. Ini barangkali lebih kepada kondisi kampung yang begitu polos terhadap pentingnya gizi bagi anak, dan ditambah karena orang tuaku terlalu repot mengurusi anak-anaknya yang berjumlah 10 orang itu. Dan nyatanya semua saudaraku pun sehat-sehat saja, tidak sakit-sakitan seperti aku.

Sepenggal cerita lainnyapun kuingat... Ketika itu ibu masih belum terlalu sepuh, dan aku ketika itu masih kecil. Aku pernah diajak ibu ke sebuah kampung, kampung Calincing namanya yang berjarak kurang lebih 3 km dengan menelusuri jalan setapak kampung-kampung, kebun, dan pesawahan, untuk menengok saudara yang sakit. Bagiku itupun merupakan sebuah kisah yang tak pernah terlupakan. Bagaimana tidak!, aku dan ibu harus menyebrang sebuah sungai curam yang kecuramannya mungkin lebih dari 10 meter. Untuk menyebrang sungai itu atas inisiatif orang-orang kampung saat itu cukup menggunakan jembatan 3 batang bambu, dan panjangnya jembatan itu kurang-lebih 8 meter. Maklumlah namanya juga di kampung, tidak perlu bicara kelayakan, atau apa. Tangan ibu berpegangan di atas bambu pegangan jembatan, sementara rantang bawaan untuk orang sakit dimasukan ke gendongan kainnya, dan tangan ibu yang satunya menenteng tanganku yang gemetaran karena merasa takut melihat kedalaman jembatan yang curam itu. Sungai yang curam itu namanya Cigulampeng. Setiap orang tak asing menyebut sungai itu di kampungku. Ah... kenangan itu memang tak pernah aku lupakan.

Terlalu banyak cerita bersamanya, dan tak mungkin aku menuliskan semuanya, tapi kenangan terakhir bersamanya, ketika ibu sakit keras dan dalam perawatan di Pancoran, Jakarta, dan saat itu adalah saat-saat akhir hidupnya. Ibu minta diantar pulang ke kampung, tepatnya ke rumah pribadinya. Kami sepakat tidak perlu menyewa ambulan, karena ini misinya berbeda, dan kebetulan aku sendiri memiliki kendaraan minibus yang bisa distel joknya dan digunakan layaknya tempat tidur yang nyaman di dalam mobil. Berangkatlah rombongan ke kampung. Dan... setibanya di kampung baru saja istirahat sejenak, ibu minta di antar kembali ke Jakarta, padahal jarak kampung ibu ke Jakarta itu jaraknya kurang lebih 360 km, dan harus ditempuh kurang lebih 6 jam karena bagaimanapun mobil tidak bisa ngebut dengan membawa pasien didalamnya. Itu mungkin cobaan bagi anak-anaknya, atau aku menyikapinya ini sebagai hadiah atau bonus amal yang ibu berikan kepada anak-anaknya . Mampukah hadiah atau bonus itu dinikmati dengan ketulusan oleh anak-anaknya. Jika ya.. hati ibu akan merasa puas, betapa soleh anak-anak yang dibesarkannya selama ini.

Kenanganku kembali ke saat-saat ibu sedang sakit keras dan saat-saat menjelang akhir usianya. Sejak ibu dinyatakan kanker oleh dokter, ibu kondisinya terus menurun. Ibu di rawat di rumah sakit, tapi selanjutnya karena kondisi usia dan sakitnya ibu disarankan dokter untuk tidak dirawat di rumah sakit, cukup dirawat di rumah dan harus ekstra diperhatikan oleh keluarga, khususnya anak-anaknya. Waktu itu secara bergiliran saudara-saudara menunggui ibu yang sedang sakit. Ibu dirawat di rumah saudaraku tertua di Pancoran, maklumlah ayah sendiri sudah semenjak tahun 1984 telah wafat. Ibu sudah terlalu lama hidup dalam kesendirian tanpa suami, siapa lagi kalau bukan para putra-putri yang memperhatikannya.

Ada sesuatu yang aneh...Ketika itu lokasi kantorku ada di Jl. S.Parman, kurang lebih 300m dari tol menuju tol Tomang-Kb Jeruk, untuk selanjutnya menuju Tangerang yaitu tempat tinggalku. Anehnya, aku baru sadar jika aku sampai menjelang lampu merah Tomang mobilku ada di sebelah kiri jalan, bukan sebelah kanan jalan agar langsung belok menuju tol, atau langsung belok kanan menuju Mal Anggrek. Adalah sebuah pelanggaran lalu-lintas jika aku harus memaksakan memotong jalan berbelok ke kanan, atau bisa-bisa diseruduk kendaraan lainnya yang berarah lurus menuju Slipi. Dalam kepanikan sesaat, tiba-tiba aku putuskan untuk menuju Pancoran menengok ibu, walau jatah menunggui ibu bukanlah aku hari itu, karena jatahku baru semalam, karenanya semenjak kemarinnya aku belum pulang ke rumah, pagi-pagi aku menuju kantor dari Pancoran.

Sesampainya di Pancoran... langsung aku menghampiri ibu di kamarnya, dan kulihat ibu sedang piring tidurnya dan tanpa bantal, lalu kutanyakan sama kakak perempuanku yang ketika itu sedang mendapatkan jatah menunggui ibu, kutanyakan “kenapa ibu koq tidurnya seperti ini..?” kakakku bilang “engga tahu tuh emang dari tadi ibu tidurnya seperti itu, semenjak kakak tadi mengeramasinya”. Memang ibu kasihan tidak mungkin rambutnya dikeramas tiap hari, kasihan kedinginan, maklum kondisi ibu hanya tinggal kulit berbalut tulang semenjak terapi sinarnya yang harus dilakukannya sebanyak 11 kali, yang saat itu mungkin jika tidak salah baru 4 kali ibu menjalaninya.

Ketika itu... aku pelan-pelan angkat tubuh ibu, maksudku agar ibu bisa pakai bantal dan tidurnya bisa nyaman. Sejenak ibu membuka matanya, kurapikan selimutnya, dan aku menuju teras yang percis ada di depan kamar ibu untuk sekedar bincang-bincang dengan saudara-saudara yang lainnya. Baru kurang lebih 2 menit barangkali, aku kembali ke kamar ibu, dan ada sesuatu yang aneh dengan nafasnya pikirku. Aku bilang kepada saudara yang lainnya “ini harus kita taklinin...” kata-kataku tersendak di kerongkongan, lalu kudekatkan wajahku ke telinganya kubacakan kalimah “laailahaillah...” berulang-ulang dan bergantian dengan saudaraku yang lainnya. Untuk selanjutnya kurang lebih satu menit kemudian tiba-tiba kakakku yang perempuan berteriak “Ibu...”, serentak semua yang ada di kamar saling menatap tanpa mampu berucap dan ... “innalillahiwainnailairojiun....” ibu meninggal.

Ketika saat itu yakin ibu yang sangat kucinta telah meninggal, lalu kuambil wudlu dan kugelar sejadah percis disamping jenasah ibu. Sengaja kulakukan untuk berdoa agar aku diberi kekuatan, dan kucoba pikiranku menerawang ke masa-masa lalu, ketika aku memohon yang sama kepadaNya, dan dalam sembahyangku kuingat kenapa aku harus mengalami kejadian mobilku tidak bisa langsung menuju rumah, kenapa ibu harus kutidurkan telentang dan kusandarkan di bantal, kenapa ibu harus menatapku saat detik-detik meninggalnya. Akhirnya... kenapa ketika itu aku merasa begitu tulus melepasnya, dan... sejuta tanya ghaib yang tak pernah kutahu maknanya menyertai doaku. Tuhan telah mengabulkan doaku, kenapa harus ada kejadian aneh yang kualami, mungkin ini tak berarti bagi orang lain, tapi bagiku ini adalah segalanya. Segalanya yang bisa aku persembahkan bagi yang paling kucintai, walau tanpa arti apapun dibandingkan dengan cintanya seorang ibu terhadap anak-anaknya.

Dengan tulisan ini sekaligus aku ingin mengucap syukur bahwa dalam ketidakberdayaan secara finansial yang aku hadapi, saudara tertuakulah yang paling banyak baktinya, semoga Allah SWT membalas berlipat segala amalannya, aamien. Wallahualam...,

Tuesday, September 09, 2008

Dalam persepsi obrolan lepas mecari solusi kemacetan jalanan


Siapa yang tak pernah merasakan akibat macet??, berapa waktu terbuang karena macet, berapa biaya tambahan BBM dan sparepart kendaraan yang harus dikeluarkan karena macet, berapa banyak volume polusi udara yang harus dihisap paru2 knalpot karena macet, dst, dst..

Kemacetan tak pernah ada solusinya, para pakar memberi solusinya, para pengambil kebijakan memberi solusinya, tapi... semuanya seakan bak episode cerita tak berseri.

Padahal sederhanya, misalnya orang yang merasa dirinya pintar, punya kekuasaan, dll, mencari solusinya, dengan melakukan studi banding, sebagai justifikasinya maka keluarlah proyek BUSWAY yang menjadikan jalanan semakin semrawut... hebat lah... pokoke..

Ahli tata kota melihat itu sebagai kesalahan infrastruktur, maka justifikasinya keluarlah proyek pelebaran jalan dengan mengorbankan trotoar dan jalur hijau.

Ahli otomotif, berlomba mencari solusi irit BBM, maka digelarlah pameran2 di sirkuit dan akibatnya orang semakin gandrung dengan kepemilikan kendaraan bermotor.

Aparat yang korup melihat hal ini sebagai peluang maka tidak aneh ada preman2 berseragam dijalanan. Sedangkan aparat dikantorannya tak kalah hebat, maka keluarlah kebijakan pajak STNK yang sangat birokratis (bayar pajak aja koq sulit, harus bayar jasa inilah, itulah). Orang yang menjadi kepala Samsat penghasilanya 5jt sehari hebat khan...

Kembali ke laptop... kenapa macet??. Esensi dari ini semua yang pertama adalah karena ulah pengambil kebijakan yang engga bijak. Para pemimpin dan jajarannya bekerja jadi aparat sudah bebal, merasa dirinya makan gaji seakan bukan duit rakyat, maka mengutip duit rakyat seakan syah2 saja. Emangnya duit sopo??

Yang kedua kualitas SDM Indon yang rendah, orang bilang budayanya yang rendah, SDM yang rendah tidak tercermin dari pendidikannya. Wong nyatanya orang desa yang tak berpedidikan lebih beradab daripada orang yang merasa dirinya orang kota berpendidikan tinggi koq.

Bicara SDM sama dengan bicara telor dan ayam. Gimana engga!, guru diharapkan sebagai ujung tombak mencerdaskan SDM tak lebih dari sekedar pengajar bukan pendidik koq, mana ada sekarang guru pendidik?, yang ada adalah guru pengajar!, misalnya guru matemateka, guru hapalan agama, koq hapalan agama?? emang hapalan!. Lihat aja buku kurikulumnya semua tentang hapalan, hapalan rukun iman, rukun Islam, dsb, hebat lah...!! Itu khan emang harus begitu..? Begitu apanya, wong bukunya aja wajib beli disekolah! Itu artinye guru niatnye bisnis bukan pendidik. Mendidik bisnis kale...

Dalam semua aspek kehidupan jeruk makan jeruk, orang pajak makan duit pajak. Orang hukum makan duit terhukum. Orang bisnis bertuhankan duit, dengan duit mereka seakan bisa merubah dunia tak berputar atau sebaliknya dipercepat putarannya. Orang yang pandai membaca hapalan doa komat-kamit berdoa seakan semua akan selesai dengan doanya yang mujarab, dan selesai berdoa menagih amplop kepada si pengundangnya, wakakakkk...

Jalanan macet, ekonomi macet, duit seret, pengeluaran ibarat air mancur, mucrat crat..crat Teuing jadi bingung begini... ?? ada yang engga bisa dipahami dalam hidup ini memang, kenapa begini?? kenapa begitu??, kenapa aku atau kamu dilahirkan padahal aku atau kamu tahu, sepertinya hidup aku atau kamu itu tak membuat warna dunia jadi berbeda! Selain jumlah penghuni dunia bertambah aku dan kamu...

Dunia semakin sempit tapi penghuninya semakin tambah, kuantitas ini tidak disertai peningkatan kualitasnya. Peningkatan kualitas akan terwujud jika para pemegang kebijakan bijak dalam mengambil keputusan. Jangan kemaruk mentang2 lagi berkuasa. Mereka berkuasa untuk melayani bukan ingin dilayani. Mereka hidup dari duit rakyat, tak cukupkah mereka memeras rakyat. Dunia semakin edan...wakakakkk...

Koq jadi ngelantur... maksudnye mencari solusi dari kemacetan jalanan adalah dilematis, ketika semua permasalahannya tidak diruntut sebagai solusi jangka pendek, jangka panjang dan dilakukan dengan itikad untuk kesejahteraan bangsa, bukan kesejahteraan pribadi...! simple aja khan??!!

Wednesday, November 14, 2007

AKU...



Aku t'lah mengalami tanpa sadar
47 kali putaran bumi mengelilingi mentari
langkah terseok seorang anak manusia
menggapai sedikit asa tak terhitung
Aku datang dari sebuah dunia yang s’lalu menanti harapan
Aku meraba dalam gelap dengan mata yang ditajamkan
S’lalu mencari apa yang mungkin tak bisa dicari
S’lalu mendalami apa yang mungkin tak bisa didalami
S’lalu berjalan dalam terjal alam
Selamat Ulang Tahun laki-laki hobi protes
Selamat Ulang Tahun pengkhayal kelas kakap
Selamat Ulang Tahun.....
Semoga Tuhan selalu bersamamu

Monday, September 03, 2007

The Power of Giving


Oleh Hedi Rachdiana

Pak Salam seorang pengendara vespa, berhenti dan meminggirkan vespanya karena mogok, lalu dia bergumam “Hmm… jangan-jangan kehabisan bensin nih”, lalu dia mencoba memiringkan vespanya, dia coba starter kembali, dan berhasil vespanya hidup kembali. Pak Salam melanjutkan perjalanannya. Namun, kira-kira seratus meter kemudian, vespanya mogok kembali.

Sambil mencari pompa bensin, Pak Salam mendorong vespanya. Di persimpangan perjalanan dia ragu antara terus mencari pompa bensin atau mampir di mesjid untuk menjalankan sholat dhuhur dulu. Timbang pemikiran, dia putuskan untuk sholat dulu.

Rupanya di mensjid itu sedang melakukan pengajian mingguan ba’da dhuhur. Dalam pengajian tersebut Pak Ustadz sedang mengambil tema kajiannya “The Power of Giving” (Kekuatan sedekah). Pak Salam semakin penasaran, akhirnya dia putuskan untuk mengikuti pengajian itu sampai selesai.

Pada akhir pengajian Pak Ustadz mencoba menguji para jamaahnya, sampai dimana pemahaman pengajian tersebut bisa dipraktekkan. Maka digelarlah sejadah untuk mempersilahkan para jamaah memberikan sedekahnya. Seperti biasanya kumpulan hasil sedekah para jamaah pengajiannya disalurkan panitia untuk menyantuni anak yatim yang ada di pondok pesantrennya.

Di dalam dompet Pak Salam hanya ada 10rb rupiah, itupun rencananya untuk membeli bensin. Karena didorong suatu keyakinan dari ceramah yang disampaikan Pak Ustadz, maka diputuskanlah oleh Pak Salam untuk memberikan uang yang hanya 10rb rupiah itu ke atas sajadah. Dan jika terjadi harus mendorong vespanya, itulah resiko dari suatu pengorbanan. Demkianlah Pak Salam memutuskan untuk melawan segala bisikan keraguan dalam hatinya.

Sambil sesekali menyeka keringatnya Pak Salam terus mendorong vespanya. Namun, ketika di tengah perjalan, tiba-tiba ada pengendara sedan yang merendahkan kecepatan dan mengikuti arah perjalanan Pak Salam. Pengendara sedan membuka kacanya, lalu menegur Pak Salam, “Hai.. kenapa vespanya?”. Secara refleks Pak Salam menengok kearah orang yang bertanya. Dengan tersipu Pak Salam menjawab “Ini bensinnya ente”. Rupanya Pak Salam mengenalinya karena si pengendara sedan itu ternyata teman lamanya yang bernama Pak Salim.

“Udah kamu parkir aja itu vespa di tempat yang aman, dan aku antar kau ke pompa bensin” Pak Salim menawarkan jasanya. Dalam perjalanan menuju ke pompa bensin berceritalah keduanya, tentang keadaan keluarganya. “Kau punya anak berapa? Pak Salim memulai pembicaraan. “Aku punya anak tiga”. Pak Salam menjawab. “Bersyukurlah…, Tuhan telah memberi anugerah padamu”. Pak Salim menimpali. Namun tampak di raut wajahnya antara bangga kepada temannya dan rasa iri mengingat dirinya selama ini belum juga dikarunia anak, padahal perkawinannya telah berjalan 10 tahun.

“Ah.. sebetulnya kaulah yang beruntung… Kau sukses dalam hidupmu. Sementara aku punya anak tiga…!, tapi kehidupanku…!? ya… seperti inilah!” Pak Salam menimpali. “Kalau begitu kita tukar…!, aku mau seperti kau, dan kau seperti aku…!?”. Pak Salam sejenak terdiam, seakan menyesali apa yang baru saja diucapkannya.

Tak lama kemudian sampailah keduanya di pompa bensin, dan dibelilah bensin sebanyak 5 lt, yang dibayarkan Pak Salim. Dan mereka kembali ke tempat penitipan vespanya Pak Salam. Lalu setelah meyakinkan vespanya Pak Salam hidup kembali, Pak Salim pamitan. Namun, beberapa langkah kemudian, Pak Salim kembali lagi ke tempat Pak Salam sedang mencoba vespanya, dan menyodorkan sebuah amplop ke tangan Pak Salam. “Apa ini…!?, Pak Salam bertanya. “Sudahlah…! aku titip ini amplop buat istrimu, kau jangan coba-coba buka ini amplop sebelum sampai ke tangan istrimu!”. Pak Salim menutup pembicaraan, dan tak lama kemudian dia meluncur dengan sedannya.

Sampai di rumah alangkah kaget istrinya, ketika membuka amplopnya ternyata uang sejumlah 2jt rupiah. Rupanya Pak Salim mendapatkan uang tersebut dari bonus perusahaannya yang diberikan seluruhnya kepada Pak Salam. Subhanallah…

Demkianlah kisah Pak Salam dan Pak Salim, yang bagi kita bisa diambil hikmah, bahwa: kadang kita sering melupakan janji Tuhan, padahal dengan jelas di tulis di QS Al-An’aam ayat 160 “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.

Kisah ini penulis ceritakan kembali yang diilhami dari kisah nyata yang diceritakan oleh ustadz Yusuf Mansyur. Pak Salim dan Pak Salam adalah nama samaran).

Friday, August 31, 2007

DARI KAMI,


AKU BERDIRI DI SINI BUKANLAH LAGI CERAMAH, ATAU
BUKAN PULA SEDANG BERKELUH-KESAH
INI DIANTARA KITA TENTANG PERJALANAN KEHIDUPAN
BAHWA AKHIRNYA WAKTU JUALAH YANG MEMISAHKANNYA
WALAU BERAT, NAMUN KITA HARUS TEGAR DAN IKHLAS MELEPASKANNYA
SETEGAR DAN IKHLAS YANG MEMANCAR SELAKSA CINTA PENUH MAKNA YANG MEMBIAS DARI SENYUM DAN WIBAWA KEIBUANNYA
PESAN KEBIJAKANNYA ADALAH WARNA DASAR PADA KEHIDUPAN ORGANISASI KITA
SAYANG… SEGALANYA MENJADI BERUBAH SELAGI PERJUMPAAN DIANTARA KITA BELUMLAH SEUMUR JAGUNG
WAKTU TELAH MEMISAHKAN KITA
SELAMAT JALAN, SEMOGA BAHAGIA SENANTIASA MENYERTAINYA
TAK ADA YANG KAMI MOHON DARINYA, SELAIN DOANYA
BAGAI DOA SEORANG IBU TUK ANAK-ANAKNYA

DOA KAMI,

(dipersembahkan untuk perpisahan direktur, 2004)

Berapa Lama Aku di Kubur?


Awan sedikit mendung, ketika kaki langkahku terseok-seok mengayun di atas jalan bebatuan dan menanjak menuju pemakaman tempat ibu, ayah serta kakekku dimakamkan. Sambil sesekali bicara mengenang masa kecilku, sesaat teringat jalanan itu adalah jalanan yang setiap hari kutapaki ketika ibu atau ayahku mengajakku ke kebun yang saat ini berubah menjadi tempat pemakaman keluargaku. Tak lama aku sampai di atas seonggok nisan yang bertuliskan “Hj. Ocih Sofiah binti Mansyur, lahir Garut 01-08-1924 wafat 16-04-1998“ dan disebelahnya terdapat seonggok nisan yang bertuliskan “H. Sumarna bin Kardi, lahir Garut 07-05-1914 wafat 05-04-1984”

Sesaat aku berhitung…Ibu waktu meninggal umur 74 tahun. Hmm, Ibu sudah meninggal 7 tahun lalu, aku bergumam sambil mataku menerawang. Ya, ibuku sudah di dalam kubur 7 tahun!?. Lalu aku memutar kepala, kupandang nisan ayah. Ohh... ayah sudah meninggal 21 tahun yang lalu!?.

“Aku teringat, ustadz khan pernah bilang kalau kita mati, lalu di kubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa di neraka. Lalu?... aku mencoba mencari-cari jawaban dari pertanyaan yang tersirat dari pertanyaanku sendiri. Kalau Ibu dan ayah banyak dosanya, berarti ayah sendiri sudah disiksa 21 tahun!? Kalau ayah banyak pahalanya, berarti sudah 21 tahun senang di kubur!? Subkhanallah…Mataku menerawang dan cemas, ketika aku juga ingat akan diriku, apa yang akan terjadi dengan diriku, jika aku harus mati besok atau lusa!?.

Pulang dari pemakaman aku gelisah, di atas sajadahku memikirkan apa yang tersirat dari pertanyaan-pertanyaanku, apa yang terjadi jika aku mati sekarang, sementara kiamat masih seribu, duaribu tahun lagi!? Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’un... air mataku menetes.....Sanggupkah aku selama itu disiksa? Iya kalau kiamat seribu tahun ke depan, kalau sejuta tahun ke depan? Kalau seratus juta tahun lagi? Selama itu aku akan disiksa di kubur... Lalu setelah di kubur? Bukankah akan lebih parah lagi? Air mataku semakin membanjiri sejadahku ..... Allahumma as aluka khusnul khootimah berulang-kali kubaca doa itu sementara pikiranku semakin menerawang jauh... Segala ingatanku menerawang mengira-ngira apa yang akan terjadi dengan Anak-Istriku… Saudara-saudaraku… Bagaimana dengan kehidupan mereka selama aku di kubur!?

Sementara aku mengenang kerinduanku akan masa kecilku, rasanya berat aku harus meninggalkan kota kelahiranku untuk menuju dan kembali ke rutinitas kehidupaku yang sepertinya juga tidak menjanjikan, jika aku tak ingat akan amanah kepada anak-anakku.

Laa haola walakuwwata illabilla khillaliyil adzim…tergetar lidahku ketika terucap dari doaku sebagai tekadku bahwa aku harus kembali ke duniaku, walau dunia yang penuh rutinitas itu tak menjanjikan apa-apa… Dunia yang tak pernah bisa kupahami hakekatnya. Kecuali…aku harus lebih mengenal lagi siapakah aku…!?

Hed/2005

SECANGKIR KOPI


Oleh: Hedi R

Pagi tanpa secangkir kopi bagiku ibarat mandi pagi tanpa gosok gigi, secercah harapan terbersit seirama kepulan uap dari cangkir kopi panas dibarengi dengan aroma kopi segar.

Kopi memang merupakan stimulan positif yang menyebabkan tubuh terasa lebih segar dan meningkatkan gairah kerja. Kafein yang terkandung di dalam kopi dapat membantu merubah cadangan lemak menjadi energi.

Menurut para ahli kafein memang golongan zat yang punya kemampuan menstimultan otak. Kafein yang merupakan bagian dari kelompok senyawa metilsantin, sedangkan bagian lain dari senyawa ini dikenal sebagai trofilin dan teobromin yang salah satu sumber utamanya adalah dari kopi. Kafein dalam kopi mampu memberikan sinyal pada otak untuk lebih cepat merespon dan dengan cepat mengolah memori pada otak. Demikian sumber permasalahan kopi mangatakan.

Tapi aku tidak mau ambil pusing dan tidak mau repot tentang kopi itu. Secangkir Kopi tetaplah hanya sebagai minuman hangat yang barangkali dapat membantu aku mencerna setiap permasalahan. Maka semakin pelik persoalan di benakku, segelas kopi diharapkan dapat menetralisir dari analisis spontan yang timbul di benak ini.

Kebutuhan hidup meningkat; harga-harga semakin tak terkendali, bencana alam, tarif listrik, tarif telepon, beras, bensin, kebutuhan anak sekolah, keadaan kantor yang tidak menjanjikan masa depan, dan sejuta persoalan lainnya tenggelam dalam seruput kopiku yang untuk kesekian kalinya.

Tentang kopi sekali lagi itu adalah data dan fakta yang bagiku tidak akan menjadi persoalan. Meski data dan fakta adalah suatu hal yang layaknya diketahui, sama halnya dengan kelayakan aku atau kita semua untuk memahami yang tersirat dan tersurat dari maksud orang menyampaikan sesuatu, atau ingin memahami arah hidup dan mencari kehidupan.

Dalam hal ini, yang dipahami bagi orang semacam aku yang dhoif namun penuh dengan impian ini, kenyataannya adalah; SATU TAMBAH SATU BELUM TENTU DUA.

Uhk…., aku hampir tersedak karena tegukan kopi terakhirku menyentuh ampas kopi, dan akhirnya aku mengakhiri minum kopiku untuk selanjutnya menuju ke rutinitasku untuk menuai peluang-peluang kehidupan yang oleh sebagian orang bisa jadi untuk mendapatkan peluang kehidupan atau rejeki dan menjadikan rejeki itu berada dalam genggamannya, rumusannya juga cukup sederhana juga, bahwa; SATU TAMBAH SATU SUDAH PASTI DUA.

Thursday, August 30, 2007

Hi.. hi...


wahai para wanita engkau selalu dengungkan emansipasi
sesungguhnya kami para lelaki
tak pernah ijinkan engkau melakukan pekerjaan kami
yang memang mestinya itu dilakukan kaum lelaki
selain bersenergi
untuk melakukan apa yang kami para kaum lelaki
tak mampu mensiasati
apapun yang bisa dilakukan oleh para kaum lelaki
dan... lahan tempat kami mencari rezeki
jua sebagian telah engkau renggut dengan mengatasnamakan emansipasi
kini ketika semuanya tak lagi mengabaikan fitrah
Hi.. hi... engkau mengeluh seakan derita tak tertanggung lagi
mencari empati kaum lelaki adalah suatu yang kontradiksi
mungkin kembali ke fitrah tuk menjadi ibu sejati adalah solusi

Cerita Seorang Bapak dengan Anaknya


Oleh: Hedi R

"Aku punya pengalaman lucu, Pak," kata anak sulung saya suatu hari.
"Lucu apanya, nak?" .
"Ini pengalaman batin." Anak saya menimpali.
"Lha iya, apa? Pengalaman batin koq dibilang lucu”, desak saya.

Alkisah, ia pun bercerita tentang seekor anjing kecil yang terkaing-kaing di bawah pohon ketika ia sedang bermain-main di halaman rumah tetangganya. Anjing itu, ketika didekatinya, ternyata luka parah di bagian kaki depannya. Makhluk itu tak mampu berjalan. Anak saya pun membopong dan mengobatinya.

Tak berapa lama, benar Anjing itu sembuh. “Dan aku terkejut Pak”, dia melanjutkan ceritanya, “karena ketika aku mau berangkat sekolah, hewan itu menyambutnya di jalan kecil di dekat pohon tempat ia beberapa hari lalu ditemukan. Dan bukan cuma itu.
Dia nganterin aku sampai di tepi jalan raya tempat aku menunggu kendaraan. Dan ketika aku pulang, dia pun menyambutku. Begitu setiap hari. Subhanallah Pak, dia tahu membalas budi."

"Anjing memang hewan paling setia", anak saya terus bercerita dan tampak diraut wajahnya penuh kekagumam.

Rupanya, batin anak saya tersentuh. Orang tua sering tak tahu, kapan batin anaknya bertambah matang. Sebagai seorang ayah, saya merasa berbahagia mempunyai anak yang mulai dapat membaca alam dan memaknai simbol-simbol halus yang tersirat dalam hidupnya.

Diam-diam anjing itu mengajarinya ilmu filsafat kehidupan yang belum tentu diajarkan guru di sekolahnya. Dan pembicaraan selanjutnya kami membicarakan terus mengenai keadaan pertemanan, tentang tolong-menolong, tentang terima kasih tentang loyalitas, dan lain-lain sekitar filosofi kehidupan. Kami mencoba merumuskan nilai-nilai baru untuk orientasi kehidupan hakiki yang mestinya kita harus jalani.

Sering saya berpikir, mungkin tiap pemimpin mendambakan betapa enaknya jika anak buahnya mempunyai jiwa anjing, yang paham akan arti terima kasih dan loyalitas.

“Betapa enaknya hidup penuh loyalitas seperti anjing itu”, saya melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong lamunan, "Sayang ini cuman sekedar impian muluk", saya bergumam.

"Emangnya kenapa, Pak?", anak saya menimpali keheranan.

Saya pun menjelaskan, “memang di kantor-kantor dalam birokrasi apa pun, dan di mana pun loyalitas tak dikenal. Orang, pegawai, karyawan, pada dasarnya cuma loyal pada duit, dan pada cita-citanya sendiri. Tiap orang sibuk berjuang bagi dirinya sendiri.
Tentu saja ada skenario terselubung, ada kedok, pemanis kata, hiasan bibir, atau gincu-yang disebut ideologi yang menutup secara indah, dan memberi pengesahan moral/spiritual terhadap cita-cita pribadinya agar sepak terjangnya tak kelihatan telanjang.

"Apa keadaan kita seburuk itu?" tanyanya.
"Dalam beberapa hal bahkan lebih buruk."
"Apa bapak kecewa, atau putus asa mengharap orang-orang loyal di kantor?"
"Kecewa ya, tapi putus asa tidak."

“Lagi pula di kantor orang sudah tahu sejak dulu, bahwa loyalitas Bapak tak punya arti apapun bagi kepentingan atasan. Bapak harus loyal pada nilai. Maka, dikotomi yang mengkotak-kotakkan orang menjadi "orangnya si ini", "orangnya si itu" jelas bukan orientasi hidup yang sesuai dengan ideologi Bapak”.

Bagi Bapak, loyal pada nilai itu artinya orang cuma loyal pada kantor, pada tujuan bersama. Orientasi ini harus diperjuangkan dengan biaya sangat mahal. Bapak kira inilah kesejatian hidup di dalam semua organisasi.

"Apa ada orangnya yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu?”
“Dan jika mungkin ada, apakah orang-orang sekitarnya menyambut gagasan seperti itu?”

“Bapak tidak tahu!, wong bapakmu ini wong cilik koq alias “wong deso”. Namun, pada awalnya, pada tataran ideal terutama sama-sama di kalangan wong cilik, bukan cuma menyambut tapi bahkan ada yang cepat memuji, bahwa gagasan ini demokratis bernuansa spritual, dan bahwa baru dalam masa seperti itulah suatu pelaku organisasi diajari orientasi yang benar, dan diberi otonomi pada masing-masing pelakunya."

“Jika ada orang yang bisa mewujudkan gagasan seperti itu…!?,”
“Dia pasti orang baik ya pak!?, kata anak saya.

"Mungkin. Tapi mungkin pula penjilat."

"Loh koq begitu? Apa karena berkaitan dengan ketulusan?"

"Tulus itu urusan hati”. Dan menjilat urusan mulut dan lidah”, kita tahu bahwa “lidah orang bilang-tak bertulang."

"Siapa tahu orang yang loyal seperti itu beneran."

“Memang tak mustahil di suatu kantor ada loyalitas tulen. Tapi loyalitas tak bisa ditentukan buru-buru. Kalau orang tampak loyal hanya semasa aktif, saat menjabat, bandit pun bisa lebih dari itu. Maka, tunggulah sampai masa pensiun. Kalau setelah pensiun ia memusuhi atasan, memfitnah, atau menipu, tahulah kita bagaimana status batin manusia jenis ini”
.
“Kita sering lupa, Tuhan menjadikan manusia dalam seindah-indahnya kejadian. Tapi, Tuhan pun maha kuasa bila kita culas, busuk, dan ingkar bagiNYA mudah mengubah status kita menjadi lebih hina dari hewan melata.
Sering saya termangu-mangu membaca firman itu. Dan sering pula saya heran, roda hidup berputar cepat, dan anak saya, tiba-tiba sudah mahasiswa.

"Nak, renungkan terus filsafat anjingmu itu baik-baik. Ia memberi kita renungan, bahwa bila manusia ingin menjadi manusia sejati yang tahu membalas budi, dan memiliki loyalitas maka ia harus gigih belajar dari sesama, juga dari anjing.”

(HED: Cerita ini diilhami dari cerita manusia dan anjing karya MS)

Bumi Semakin Panas


Oleh: Hedi Rachdiana

Bumi semakin panas, pemanasan global, itulah isu yang kita rasakan sekarang ini, dan isu ini sampai kapankah berakhir?. Nyatanya hari demi hari yang dirasakan memang bumi semakin panas. Jam 8 pagi dirasakan panasnya sama dengan jam 12 siang masa dekade 20 tahunan ke belakang. Bahkan di Amerika sana telah disimulasikan oleh komputer, bagaimana jadinya jika pemanasan global ini mampu mencairkan kutub atau benua Antartika, hasilnya permukaan laut akan meninggi sampai 60 meter tingginya, bukankah jika terjadi maka bumi ini menjadi kiamat?.

Bumi semakin panas, persaingan hidup semakin keras. Bahkan setiap orang bak ada di dunia satwa hutan belantara dimana hukum rimba berlaku, si kuat memangsa si lemah demi sekedar mengenyangkan perutnya. Berjuta problema kehidupan membayangi silih berganti, terkadang problem yang satu belum tersolusi, datang pula problem lainnya, hal ini terus bertumpuk dan tak pernah berujung dalam penyelesaian.

Bumi semakin panas, eksploitasi alam terus berlangsung, pemerkosaan hutan, cuaca tak menentu, petani tidak bisa lagi melakukan jadwal tanamnya seperti dulu, banjir, longsor ketika musin hujan, atau kekeringan ketika musim kemarau. Sementara itu, di setiap jalanan atau gang sempit, becek kumuh berjubel ratusan orang dewasa dan anak-anak memenuhi jalanan bak kelinci dikandangnya. Mereka melakukan aktivitas seharian tanpa mengenal waktu berbaur satu sama lain tanpa mengindahkan norma-norma kaedah dalam pergaulannya. Mereka mau jadi apa nantinya?
Benar atau salah, semua permasalahan tersebut tidaklah terlepas dari terlalu banyaknya populasi manusia di bumi ini, lebih-lebih sebagian besar dari mereka itu secara moral tidak berkualitas. Di lain pihak, ada sekelompok orang yang masih menganut paham pepatah “banyak anak banyak rejeki”, sehingga tak mustahil pada zaman yang sudah maju ini masih ada dalam sebuah keluarga dengan jumlah anak belasan orang terutama di pedesaan, tapi tidak sedikit pemahaman “banyak anak banyak rejeki” itu juga dianut oleh mereka yang notabene adalah orang-orang intelek.

Apakah faktor terlalu banyaknya manusia ini berpengaruh terhadap ekosistem alam? Menurut berita yang bersumber dari Kompas Cybermedia, menyebutkan bahwa “Manusia telah merusak Bumi dengan kecepatan yang tidak diduga sebelumnya. Hal ini meningkatkan resiko kerusakan alam yang bisa mengakibatkan munculnya penyakit, kekeringan, atau zona mati di lautan”.

Lebih lanjut Kompas menyebutkan bahwa; “Penelitian yang melibatkan 1.360 ahli dari 95 negara ini menyebutkan naiknya populasi manusia selama 50 tahun terakhir telah meningkatkan pencemaran dan eksploitasi berlebih terhadap dua pertiga sistem ekologi yang menjadi tumpuan kehidupan.

Aktivitas manusia telah merusakkan fungsi alami Bumi dan kemampuan eskosistemnya sehingga barangkali tidak akan ada yang tersisa bagi generasi mendatang. Disebutkan, sepuluh hingga 30 persen mamalia, burung, dan jenis-jenis amfibi telah terancam punah. Ini adalah tanda menurunnya dukungan bagi kehidupan di planet kita.

Selama 50 tahun terakhir, manusia telah mengubah ekosistem secara lebih cepat dan meluas dibanding waktu lain dalam sejarah. Pertumbuhan permintaan makanan, air, kayu, serta bahan bakar belum pernah sebanyak jangka waktu itu. Ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman kehidupan di Bumi”.

Lebih lanjut Kompas Cybermedia menyebutkan, bahwa “dicontohkan, sejak tahun 1945, semakin banyak tanah yang berubah menjadi lahan pertanian atau pemukiman dibandingkan sepanjang abad 18 dan 19”.

Apakah keprihatinan ke depan itu tidak berkepanjangan?. Tengoklah statistik kependudukan yang menyatakan bahwa pada tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 9,2 miliar dan penduduk Indonesia 280 juta. Padahal sebagaimana di lansir Kompas Cybermedia tersebut bahwa terlalu banyaknya penduduk itu selain berpengaruh secara revolusioner terhadap faktor ekosistem juga akan mempengaruhi langsung sektor ekonomi dan sosial.

Untuk itu, tidak ada salahnya kita merenung sejenak untuk menyikapi ayat berikut: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS 13:11).

Kita tidak bermuluk-muluk ingin merubah dunia, tapi percayalah kita hidup syarat dengan permasalahan ini justru karena kita hidup di dunia, mau atau tidak kita ada didalamnya.

Tanpa Judul


Ini tentang Kita
Ingin tak bertanya, kenapa
Mengapa mesti bertanya
Kulihat ke kiri dan ke kanan,
ke belakang jua ke depan
Ada sesuatu yang menggugah rasa
Haruskan terpendam rasa tuk bertanya
Walau tlah bertanya, jua
Nyatanya bertanya tak kunjung berbuah asa
Ingin ku tak bertanya
Lalu tak bertanya, memangnya kita kenapa??

Wednesday, August 29, 2007

KENAPA


Aku bukanlah seorang penyair dari kata genre sastra
aku adalah penyair kehidupan
yang kenyang dengan terpaan badai dan topan
yang kenyang dengan pahit asam kehidupan
orang memandangku si lugu hanya pandai memainkan kata

Aku adalah penyair kehidupan
Yang mengungkapkan segala perasaannya lewat puisi
Puisi kehidupan, dari segala asa yang terkubur
Seorang Penyair kehidupan mengungkapkan segala perasaannya dengan puisi
bukan dengan angka kebohongan
bukan dengan rumus yang orang bingung mencernanya
angka dan rumus dimanifulasinya
sekedar berwawansabda kepada dunia dengan kemunafikan

Puisi kehidupanku sebagai ungkapan interaksi batinku yang paling dalam
Dari pandangan inilah segenap rasa dan karsa berhulu
Dari pandangan mata hati yang tidak dilihat orang kebanyakan
Semua hal di dunia ini bagi seorang penyair kehidupan adalah puisi
Aku hanya perlu sedikit ruang sunyi, sejuk bermanik kedamaian
Namun, dari sebuah sudut sempit yang tidak diperhatikan orang lain
Dari situ aku dapat memandang hiruk-pikuk kemunafikan
Sesak nafasku syarat dengan tanya, kenapa

(hed, medio 2007)

Friday, March 23, 2007

Memangnya kenapa


Ketika Hindu atau Budha menyembah berhala,
Ada juga yang menyembah patung Yesus dan Bunda Maria
Dan kita menyebutnya kafir,
Ketika para ustadz dan kyai melapalkan Quran sebagai aji-aji pengusir setan, jin ifrit dan sebagainya
Jua, mereka menanyakan kenapa Kabah disembahnya
Maka dijawabnya:
Itu bukan menyembah, tapi sekedar menghadap katanya,
Alasan yang sama dengan mereka
Karena merekapun hakekatnya melakukan yang sama
Lalu, dimana perbedaannya?
Kita harus pandai-pandai bertanya pada nurani dan akal mestinya
Kita punya Quran yang syarat dengan tafsirannya

Lalu aliran dan banyak aliran bermunculan dimana-mana
Kenapa harus berkiblat kepada aliran…?
Akankah kafir, kufur, bidah dan sejuta istilah kesesatan ditujukan kepada sesama seaqidah?
Meskikah sholat, puasa yang dilakukan, adalah alasannya?
Seakan surga pun mutlak miliknya
Walau tak memahami apa hakekatnya
Nyatanya kedzalimanpun masih merajalela dimana-mana, mungkin termasuk dirinya
Ada sesuatu yang lebih nyata
Bercermin pada alam misalnya
Kenapa musibah demi musibah hadir menjamah bersama kehidupan manusia
Kenapa mereka tak menyadarinya
Alam selalu jadi sasaran gamblang penyebabnya
Manusia memang begitu tabiatnya
Orang bodoh dibilang cerdas, bodoh dibilang pandai
Orang yang benar dan salah tak jelas jadinya

Jika ada yang bertanya kepada kita,

Sholat itu apa dan untuk apa?
Puasa itu bagaimana dan untuk apa?
Zakat itu untuk apa?
Haji itu untuk apa?
Apa untuk mendapatkan syurga?
Dan syurga itu gimana dan dimana?
Apa yang mesti kita jawab,
Dan….. ketika kita tidak bisa menjawabnya
Mestikah ibadah orang lain dicaci-makinya
Seakan surgapun sudah ada dalam genggamannya
Padahal ketika ditanya syurga itu apa
kita tak menjawabnya…

Kalau tidak tahu syurga itu apa
Terlalu naif kita berharap mendapatkannya
Ahh.. mestinya kita tak perlu pula menyalahkan bagaimana mereka
Karena nyatanya kita jua belum benar adanya
Nyatanya kita tidak tahu tujuan kita ke mana akhirnya.

Hidup ibarat benih padi yang ditebar di atas persemaian


Oleh: Hedi Rachdiana
(Dalam renungan)

Ketika musim tanam padi tiba pak tani menyiapkan persemaian dan disiapkanlah segala kebutuhan seperti benih, pengairan yang cukup, dan lain sebagainya. Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, maka pak tani pun mengambil benih padi itu dan genggam demi genggam ditebarkanlah dengan sangat hati-hati ke atas persemaian yang sudah disiapkan.

Namun tak urung dari beberapa genggam benih padi yang ditebar pak tani, ada beberapa butir padi yang terpental tidak tepat jatuh di atas persemaian. Walau itu sesuatu yang tidak diharapkan, pak tani pun tetap membiarkannya, karena sesuatu yang tak mungkin untuk memungutnya satu persatu dan menempatkan benih padi yang terpental itu tepat pada tempatnya.

Selang beberapa waktu kemudian tumbuhlah benih padi itu menjadi kecambah. Selanjutnya, benih yang jatuh tepat di atas persemaian yang sudah disiapkan pak tani, maka benih itu tumbuh dengan suburnya. Lain halnya dengan benih yang terpental tadi, benih itu tumbuh dengan tunas yang kurus dan daunnya yang menguning, tipis harapan baginya akan dipakai pak tani untuk dipindahkan ke lahan sawah.

Mujur sekali nasib benih padi yang jatuh tepat di persemaian pak tani itu, karena setelah dipindahkan ke lahan sawah manapun akhirnya tumbuh subur dan menghasilkan bunga serta butiran padi yang lebat. Namun, tidak demikian dengan benih yang terpental itu, mereka tumbuh kurus layu dan akhirnya mati sebelum dipindahkan.

Demikianlah proses perjalanan hidup manusia, ada yang tumbuh seperti benih yang jatuh tepat di persemaian yang sudah disiapkan hingga tumbuh subur dan menghasilkan karya-karya nyata selama hidupnya, ada pula yang hidup tidak sesuai harapan hingga selalu dalam kepapaan selama proses hidupnya.

Manusia tak pernah bisa menawar harus tumbuh dimana dan dengan cara bagaimana, karena hakekatnya manusia terlahir bukanlah kehendaknya, juga ditebar di atas dunia inipun tak bisa ditolaknya. Manusia dan makhluk lainnya semua hanya ada dalam satu genggamanNYA yaitu Tuhan Yang Maha Pengatur segalanya.

Dunia ini adalah persemaian untuk menuju alam selanjutnya, dan manusia adalah benih yang ditebar untuk menghasilkan karya. Lalu, pernahkah kita berfikir dan mempertanyakan keberadaan diri kita ini, apakah kita termasuk benih yang ditebar tepat jatuh di atas persemaian ataukah sebaliknya.

Kalaulah kita memang termasuk yang beruntung karena terlahir dari sebuah benih dan persemaian yang baik dan benar, lalu syukur apa yang telah kita sampaikan sebelum semuanya terlambat karena akhirnya pak tani pun akan menggarap persemaian itu untuk selanjutnya ditebar lagi benih yang baru.

Dan jika kita nyatanya bukan termasuk yang beruntung, maka bersabarlah karena hal yang sama pak tani itu akhirnya akan menggarap persemaian itu dan menebarkan benih yang baru lainnya. Manusia itu bernasib baik atau tidak akhirnya hanya menuju kepada sebuah tempat dimana hakekatnya manusia itu hidup, yaitu sorga atau neraka. Hidup di dunia ini bukanlah segalanya.

HIDUP MESTINYA BAGAI AIR KECIL JERNIH MENGALIR


Oleh: Hedi Rachdiana

Hidup mestinya ibarat air kecil jernih mengalir, mengalir dari hulu ke hilir dengan lincahnya, dan jangan coba-coba menyumbat aliran air karena ketika menggenang akan menimbulkan bau tak sedap untuk sekitarnya dan mengundang berbagai penyakit, dan ketika kita mempermainkannya, maka air pun terkadang datang bagai amarah bah dan tak ada seorangun yang mampu menahannya.

Hidup dituntut harus bergerak walau tidak sekedar mengejar obsesi semata, tapi memikirkan dan berbuat untuk orang lain. Orang bijak mengatakan : ”Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi, siapa yang mau memikirkan orang lain, dia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.” (Sayyid Qutb).

Sungguh malang hidup seorang yang tidak punya makna kebaikan bagi orang lain, apalagi jika kehadirannya justru menjadi masalah bagi orang lain, karena itulah rahasia hidup pribadi unggul bahwa sebaik-baiknya kehidupan adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan sejauhmana hidup kita bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain? Memberi solusi bagi orang lain? Atau malah bikin masalah bagi orang lain ibarat air bah?

Air mengalir terus dan terus menuju ke tempat tertentu dan akhirnya bermuara di laut. Hidup seharusnya juga begitu, mempunyai orientasi dan tujuan yang jelas, tidak sekedar mengalir begitu saja. Hidup harus ibarat air, jika terhambat selalu mencari celah mencari jalan keluarnya. Jika air bermuara di laut, maka hidup muaranya adalah kematian. Suka atau tidak saatnya akan tiba. Memanfaatkan waktu adalah solusi agar hidup tidak menjelma bak air bah yang mampu menggilas apapun yang menghambatnya.

Air kecil jernih mengalir selalu memberi kesejukan mata jika dipandang, kesejukan hati jika dirasa, dan selalu dirindukan kehadirannya. Jadilah hidup bagai air kecil jernih mengalir.

Tuesday, July 18, 2006

BERITA KEMARIN DAN HARI INI


Berita lagi, berita lagi
Lebih dahsyat dari berita selebriti
Bencana lagi, bencana lagi
Lebih parah dari bencana korupsi

Derita lagi, derita lagi
Derita datang lagi
Menjemput maut anak negri
Datang dari murka perut bumi

Sedu sedan tangis yang kemarin
Belum lagi henti
Gempa lagi, tsunami lagi
Bencana seakan tak henti

Air mata masih di pipi
Menangisi bencana ini
Air mata kemarin belum lagi kering
Kini air mata ini memang sudah kering

Terkuras tangis menyayat-nyayat hati
Oleh derita kemarin
Tangisku kini telah menembus ulu hati
Bagai ditusuk sembilu, perih, pedih

Saatnya untuk merenung diri
Ku takut gempa dan tsunami akan menimpa diri
Bukankah berita hari ini
Sama dengan berita kemarin

Bak cerita episode berseri
Tangis hari ini adalah tangis kemarin
Derita hari ini jua derita kemarin
Gempa dan tsunami kapankah berakhir?

Ah… tak usahlah aku sedih mengharu biru
Tak usahlah aku bertanya sana-sini
Gempa dan tsunami
Ataukah karena azab Illahi

hed/2006

Tuesday, March 21, 2006

SATU TAMBAH SATU SUDAH PASTI DUA


Para selebritis tertawa dalam setiap membawakan acaranya
tidak butuh lagi undang-undang pornoaksi dan pornograpi katanya
dan stasiun-stasiun TV pun berlomba menyiarkannya
masyarakat belum bisa menerima
alasan pragmatis yang bikin seorang idealis membeliakkan mata

Para kiai lebih senang tinggal di pesantrennya
karena ikut bicara seperti sok alim katanya
sholat lima waktu tak ada henti-hentinya
ketika para kiai ada di gedung DPR tidak sholat pun tidak apa-apa

Kalau para politisi atau eksekutif atau lembaga peradilan ditanya
apakah fungsi agama bagi mereka
kalau mereka jujur menjawabnya
mayoritas kuping pasti merah karenanya

Lho.... kok bisa?
bisa saja
karena kita masih ada di dunia
dimana idealisme dan realita sering berada di ruang berbeda

Lho...apakah pikiran dan tindakan orang-orang bijak tidak sama?
kalau itu jangan ditanya
justru karena bijak mereka tidak bicara apa adanya
atau bisa juga takut kehilangan muka dan pengikut setia

Kau pikir kenapa orang-orang bijak tidak bisa bicara ketika mereka tahu
bahwa orang-orang degil diperbolehkan menguasai dunia…?
Kau pikir kenapa orang-orang jujur lebih memilih mati karena lapar
dan terhujat di sebuah lingkaran turun-temurun kekuasaan …?
Kau pikir kenapa rakyat jelata harus bertanya-tanya,
walau bertanya jua nyatanya tak ada orang yang mau mendengarnya …?

Waduh… waduh…
kenapa menanyakan itu pada saya, malam ini saja,
saya tak tahu harus makan apa biarlah orang berpeci yang ada
di gedung DPR itu yang menjawabnya
biarlah orang-orang yang pakai fasilitas rakyat yang memikirkannya
biarlah para kiai yang siang malam sholat yang mendoakannya
saya hanya orang biasa bagi saya satu tambah satu pasti dua.

Hed2006

Friday, March 17, 2006

IBUNDA


Ibunda # 1

Ibunda, ringkih dan renta karena ditelan usia, namun tampak tegar dan bahagia. Ikhlas memancarkan selaksa cinta penuh makna yang membias dari guratan keriput di wajah. Tiada yang berubah sejak saat dalam buaian, hingga sekarang mahkota putih tampak anggun menghiasinya. Dekapannya pun tak berubah, luruh memberikan kenyamanan dan kehangatan.

Ibunda, jemari itu memang tak lagi lentik, namun selalu fasih menyulam kata pinta, membalur sekujur tubuh dengan doa-doa. Kaki tampak payah, tak mampu menopang tubuhnya. Telapak tempat surga itu pun penuh goresan, simbol perjuangan menapak sulitnya kehidupan.

Ibunda, izinkanlah anak-cucunda meraih tempat surga itu, Ibunda adalah sebuah anugerah terindah yang dimiliki semua anak-cucunda, sejak dalam rahim, betapa cinta itu tak putus-putusnya mengalirkan kasih yang tak bertepi.

Ibunda, anak-cucunda selalu rindu akan kasih bunda. Semoga bunda senantiasa ada dalam lindunganNYA.

Ibunda # 2

Ibunda, demi anak-anakmu jemarimu tak pernah henti dengan menyulam kata pinta, membalur sekujur tubuh dengan doa-doa.
Tubuhmu tak menghitung waktu, siang atau malam terus merajut cinta
jua demi anak-anakmu
Hingga akhirnya perjuanganmu usai tak mampu melawan sulitnya menahan rasa sakitmu.

Ibunda, terkulai lemah menahan derita, namun tampak tegar dan bahagia.
Ikhlas memancarkan selaksa cinta penuh makna yang membias di wajah.
Tiada yang berubah sejak saat engkau bugar, hingga takdir itu memisahkannya
Walau engkau tak lagi bersama, namun hadirmu abadi dalam sanubari
memberikan kenyamanan dan kehangatan.

Ibunda, surgaku ada dalam telapak kakimu
Izinkanlah anak-cucunda meraih tempat surga itu,
Ibunda adalah sebuah anugerah terindah yang dimiliki semua anak-cucunda, sejak dalam rahim, betapa cinta itu tak putus-putusnya mengalirkan kasih yang tak bertepi.

Ibunda, anak-cucunda selalu rindu akan kasih bunda.
Semoga bunda senantiasa ada dalam lindunganNYA.

I B U,


TIBA-TIBA SAJA AKU RINDU MENYEBUT NAMAMU
DAN TANPA TERASA SENGAJA TERUCAP ITU DARI MULUTKU
WALAU LIRIH, TAPI MANIS DAN MASIH
MEMBAUR DENGAN RASA KASIH,
TULUS

TIBA-TIBA SAJA AKU SELALU INGIN MEMANGGILMU
PADA SETIAP TIDURKU, PAGI DAN MALAM
MENYAPAMU DALAM SETIAP DOAKU

IBU, SAAT KESENDIRIAN ITU DATANG MENYERBU
DAN MENGUASAIKU
KALUT,
RESAH RASA HATIKU
KUTAHU ITU BAGIAN YANG HARUS KUTERIMA
LEBURKAN DOSAKU
LUPAKAN SAAT-SAAT AKU ALPA BERSAMAMU
PERKENANKAN AKU KINI MERAIH KASIHMU
DAN MASUK DALAM DEKAPMU

TINGGALAH SERTAKU
DAN HADIRLAH DALAM MIMPIKU
AGAR AKU DAPAT SELALU BERSAMAMU

MAAFKAN AKU, IBU

ANAKMU,

/hed 1984

Hadiah Dari Suatu Kepedulian


Oleh: Hedi Rachdiana
Diceritakan kembali dari dongengan)

Alkisah hiduplah di suatu desa seorang petani yang makmur. Ia juga seorang yang sangat dermawan dan dihormati di desanya, keuletan bertaninya menjadi contoh penduduk desa bahkan terkenal sampai ke desa-desa lainnya. Dari musim-kemusim si petani itu selalu mendapatkan panen yang melimpah.

Namun, pada suatu ketika, secara mengejutkan datanglah musibah karena tikus-tikus menyerang sawah dan ladang-ladang para petani, bahkan merambah sampai ke sawah dan ladang-ladang para penduduk desa di sekitarnya.

Sang petani dan para penduduk desa serentak mencari gagasan untuk mengatasi wabah tikus ini agar tidak berlarut-larut, setidaknya untuk mencegah agar tidak menyebabkan kegagalan panen pada musim panen berikutnya. Dari gagasan yang disarankan ke penduduk desa, maka diputuskanlah agar masing-masing petani membuat perangkap tikus.

Sementara setiap hari penduduk desa disibukkan oleh pekerjaannya membuat perangkap tikus dan memasangnya di sawah dan ladang-ladang, maka didengarlah beritanya oleh para tikus, sehingga membuat geger di kalangan para tikus karena hal itu akan mengancam keselamatannya.

Untuk itu, segeralah para tikus mengutus tetuanya agar diatur rembugan antar para tikus, maka bicaralah tetua tikus itu kepada para tikus lainnya; “Wahai segenap para tikus, ketahuilah bahwa kelangsungan hidup kita saat ini sedang terancam, karena para petani sedang memasang perangkap-perangkap untuk kita semua. Oleh karena itu, barang siapa dapat memberikan jalan keluar dari kesulitan kita ini, maka aku tetua kalian akan memberikan hadiah”.

Tiba-tiba muncullah seekor tikus cerdik memberikan gagasan, ia minta kepada tetua agar terlebih dulu minta saran kepada binatang-binatang lainnya sebagai bentuk solidaritas kebinatangan.

Dari usul yang diajukan tikus cerdik itu, maka diputuskanlah oleh tetua tikus pertama-tama untuk minta pendapatnya kepada ayam, karena ia berpikir para ayamlah yang pertama kali sering kena perangkap-perangkap yang dilakukan oleh para petani, mereka berharap ada kepedulian bersama merasakan senasib dan sepenanggungan.

Lalu, menghadaplah tetua tikus beserta rombongannya kepada para ayam menyampaikan maksud dan tujuannya,
“Wahai saudara sebinatang!, maksud kedatangan kami tidak lain dan tidak bukan mewakili saudara-saudara kami lainnya untuk menyampaikan permohonan, kiranya tuan-tuan bisa membantu kami mengatasi perangkap-perangkap yang dilakukan oleh para petani, demikian… kiranya tuan-tuan sudi membantu kami!”, tetua tikus menyampaikan maksudnya.

Kok..kok..tekok, serempak dengan angkuhnya para ayam itu menjawab “Hai…tikus!… perangkap-perangkap itu kan dibuat penduduk desa buat kalian!, kenapa minta tolong ke kami!?, atasi saja dengan cara kalian”. Para ayam bersikap tak acuh.

Dengan tangan hampa para tikus itu kembali dan segera mencari solusi lain. Dan dilakukanlah rembugan lagi, dimana hasilnya segera agar minta tolong ke binatang lainnya, yang juga seringkali terkena dampak perangkap para petani, dengan harapan ada kepedulian senasib dan sepenanggungan.

“Maaf tetua… bagaimana kalau kita minta tolong ke kambing!?”, sang tikus yang cerdik menyampaikan gagasan ke tetuanya. “Baiklah… akan kita coba!”, tetua tikus dengan arifnya menerima gagasan itu.

Dengan tergesa-gesa tetua tikus dan rombongannya pergi untuk menemuai para kambing, maka disampaikanlah apa yang menjadi maksud dan tujuannya. “Wahai …para kambing yang baik, maksud kedatangan kami untuk minta tolong bagaimana caranya mengatasi perangkap yang dibuat para petani itu?”.

Namun apa yang terjadi!….para tikus mendapatkan kenyataan yang sama seperti ketika menghadap para ayam sebelumnya, bahkan para tikus mendapatkan cemoohan. Para kambing berdalih bahwa tidak ada kepentingan dengan perangkap-perangkap yang dibuat para petani yang sebenarnya dibuat untuk para tikus itu.

“Mbek…lha…lha… kalian salah alamat, kalian mestinya tidak datang ke kami, kami tidak ada kepentingan dengan perangkap-perangkap itu!”
“Namun…bukankah kalian juga sering terkena perangkap-perangkap yang dibuat para petani itu!?”. para tikus penasaran.
“Mbek…mbek… lebih baik kalian minta tolong saja kepada binatang yang lain, mbek… mbek…” para kambing serentak angkat bicara kepada para tikus.

Saat itu hampir saja rombongan para tikus itu putus asa, kalau saja tidak mengingat bahwa mereka juga mengemban tugas dari para tikus lainnya untuk menyampaikan amanah kepada para kambing itu. Mereka merasa telah gagal untuk kedua-kalinya, gagal mengemban misinya padahal mereka begitu dipercaya. Di atas pundaknyalah mereka menggantungkan harapan keselamatannya.

“Kita tidak boleh putus asa!”. Bagaimanapun kita ini orang-orang eh…(salah menyebut dirinya) tikus-tikus yang dipercaya oleh semua para tikus, kita harus mencoba lagi!, kita harus bertekad!”. Tetua tikus memberi semangat kepada rombongannya.

Berkumpullah kembali para tikus, seekor tikus yang cerdik dengan hati-hati karena takut gagasannya tidak didengar lagi karena gagasannya sebelumnya selalu gagal bicara; “Maaf tetua… bagaimana kalau kita minta tolong untuk yang terakhir kalinya ke sapi!?”. “Baiklah… akan kita coba!”, tetua tikus dengan sabar dan arif menerima gagasan sang tikus cerdik itu.

Bergegas mereka pergi menyampaikan harapannya ke sapi, siapa tahu sang sapi dengan badannya yang besar, gagah dan kuat bisa membantu kesulitan yang dihadapi para tikus.

Rupanya badan yang besar dan gagah itu cuman tampak penampilannya saja, karena iapun tidak peduli dengan kesulitan yang dihadapi para tikus. Bahkan karena ia merasa badannya besar dan kuat ia berkeyakinanan tidak mungkin akan terkena perangkap-perangkap tikus itu.

“Hmm… aku sudah tahu maksud kedatanganmu wahai para tikus, kalian juga sebelumnya telah datang ke ayam dan kambing, bukan?!, hmm…hmm”. Sang sapi bicara ke para tikus tanpa menolehnya.

Sang sapi merasa tikus-tikus itu bukanlah apa-apanya, bahkan para sapi merasa bahwa mereka adalah kesayangan para petani bahkan para penduduk desa umumnya. “Tidak mungkin para petani menyakitinya. Bukankah para petani membutuhkan tenaganya dan penduduk desa umumnya membutuhkan susu para sapi?”. Mereka meyakinkah dirinya.

Untuk ketigakalinya para tikus mengalami kegagalan. Mereka merasa inilah nasib buruknya. Tak ada jalan lain baginya, kecuali pasrah, karena segala usaha telah dilakukannya.

Pada suatu hari, berduyun-duyunlah para petani memeriksa perangkap-perangkap tikus yang telah dipasangnya, dipimpin langsung oleh sang petani itu. Dan ia pula yang pertama memeriksa perangkapnya.

Namun, apa yang terjadi, ketika tangan sang petani itu mengangkat perangkapnya, tiba-tiba sang petani menjerit kesakitan “tolong…! tolong…!, tanganku… tanganku…”.

Serentak para petani lainnya bergegas menghampiri sang petani itu dan segera memeriksa gerangan apa yang terjadi. Rupanya ketika sang petani mengangkat perangkapnya, tangannya secara tiba-tiba dipatuk ular berbisa sehingga dengan cepat tangannya membengkak dan membiru.

Para petani menghentikan memeriksa perangkap-perangkapnya untuk segera menolong sang petani itu, dan membawa ke rumahnya untuk segera mengobatinya. Dan gemparlah para petani dan penduduk desa karena sang petani yang menjadi panutannya terkena musibah dipatuk ular berbisa dan tampaknya kondisinya cukup kritis.

Selama dalam pengobatan tak henti-hentinya ia didatangi para penduduk desa untuk menjenguknya, mereka selalu mendoakan agar sang petani segera sembuh dan sehat kembali. Maklum bahwa sang petani juga sangat perhatian terhadap sesamanya. Mereka berharap sang petani dapat meneruskan perjuangannya membasmi para tikus yang semakin meraja-lela, bahkan terdengar ada sebagian penduduk yang sudah menderita kelaparan karenanya.

Bersyukur sang petani itu akhirnya sembuh. Lalu diumumkanlah oleh para tetangganya bahwa sang petani sudah sembuh. Dan berduyun-duyunlah orang-orang mendatangi rumah sang petani sekedar untuk memberi ucapan selamat. Mereka sangat bersyukur sang petani selamat dan sehat kembali.

Tak henti-hentinya setiap hari rumah sang petani itu ramai dikunjungi oleh orang-orang disekitarnya, karena sangat dihormati dan dikenal maka penduduk desa tetangganyapun berdatangan untuk sekedar mengucapkan selamat atas keselamatan dan kesehatan sang petani itu.

Sang petani adalah seorang dermawan, ia seorang yang sangat baik, ia tidak mau mengecewakan tamu-tamunya, ia ingin menghormati tamu-tamunya sekaligus sebagai ucapan syukur karena ia juga bisa selamat atas syariat pertolongan sahabat-sahabat petaninya.

Untuk itu diadakanlah sambutan, hari pertama penyambutan tamu-tamunya, atas kesepakatan dengan istrinya sang petani memotong banyak ayam sebagai jamuan tamu-tamunya, maka dipotonglah ayam-ayam yang diketahui ayam-ayam itu adalah ayam-ayam yang pernah diminta tolong oleh para tikus beberapa waktu yang lalu. Dan disantaplah daging ayam beramai-ramai oleh para petani dan para penduduk desa lainnya menjadi santapan yang lezat.

Hari kedua, karena tamu-tamunya semakin banyak saja dan pemotongan ayam dirasakan belum cukup, maka dipotonglah kambing. Konon, kambing-kambing itu diketahui adalah kambing-kambing yang pernah diminta tolong oleh para tikus. Dan kambing-kambing itupun satu-persatu dipotong untuk penyambutan sebagai rasa syukurnya.

Hari ketiga, sebagai puncak acara maka para sahabat sang petani dan para petani lainnya secara gotong royong menyumbang agar dilakukan pemotongan sapi, maka dipotonglah sapi dan sapi-sapi itu pun konon adalah sapi-sapi yang juga pernah diminta tolong oleh para tikus itu. Sapi-sapi itupun menjadi santapan penduduk desa, bahkan sebagian dibuat dendeng oleh penduduk desa itu.

Maka binasalah sang ayam, sang kambing, maupun sang sapi-sapi itu, sementara tikus-tikus yang peduli mengajak keselamatan kepada binatang-binatang lainnya itu selamat, dan merekapun sedang berpesta menikmati sisa tulang-tulang ayam, tulang-tulang kambing serta tulang-tulang sapi sisa makanan para petani dan penduduk desa itu.

Apa Daya


Terlampau banyak problem kehidupan yang menjerat,
Kemiskinan bukan lagi monopoli di kolong-kolong jembatan,
Sekarang telah merambah ke sebagian besar masyarakat kita,
Suka atau tidak suka esok atau lusa siapa tahu giliran kita

Kemiskinan mestinya adalah sebuah produk ketololan,
Orang bilang negara kaya minyak seolah dapat kutukan,
Negara kita contohnya, provinsi kaya minyak justru paling melarat,
Jika demikian entah apa yang ada dalam benak kita

Kita nyatanya bukan cuma miskin harta,
Tapi kita juga miskin ilmu dasar pikiran lurus dalam hal filsafat dan logika,
Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal menjadi manusia,
Karena tidak diajarkan beretika dan tidak diajar dasar ilmu hakekat kehidupan

Masa depan kita jadi remang-remang,
Kita ingin marah, tapi marah sama siapa,
Kita kesal terhadap masa depan, tapi harus mengadu sama siapa,
Akankah akhirnya… berbuah masa bodoh dan santai saja

Renungan


Saatnya aku mengajukan sebuah pertanyaan
Bukankah aku dimulai dari tiada
Atas kehendakNya aku menjadi ada
dan, entah esok atau lusa kembali menjadi tiada
Terbayang masa-masa yang lalu
Ketika semuanya menjadi terasa indah
Memang tidak semua masa lalu dirasakan sama
kadang ceria, walau ada jua yang kecewa
Akhirnya, tak terasa perjalanan hidup ini begitu cepat
dan, dalam perjalanannya pernahkah aku bertanya:
Kenapa perjalanan hidup ini rasanya baru sesaat saja
hingga aku telah menjadi dewasa dan tua
atau, mestinya aku bertanya:
Mungkinkah hidup yang aku jalani ini hanyalah proses belaka
Sebuah proses yang tak ada bedanya dengan mahluk lainnya
Apalah artinya aku ini menjadi manusia
Bukankah pepohonan dan rumputan atau binatang melatapun
mereka juga sama menjalankan proses
Proses dari tiada, menjadi ada
dan akhirnya juga menjadi kembali tiada
Sesungguhnya, apa yang telah kulakukan
Gerangan apa jika aku ini sebagai manusia
Akankah hidup sekedar makan tidur dan berketurunan
Bukankah aku adalah manusia
yang mestinya semua terukur dengan waktu
dan, waktu adalah sesuatu yang pasti
Akankah aku mampu mewarnai perjalanan hidup ini
Meskikah masa laluku adalah sejarah yang tak pernah kupahami
Dan, akankah langkah yang mesti kuraih jua merupakan misteri